Imbauan pemerintah agar warga mengubah sertifikat tanah fisik menjadi elektronik memantik reaksi publik. Publik ragu perihal keamanan data mereka, sementara pakar menilai Badan Pertanahan Nasional “tak rapi” dalam mengurus dokumen tanah warga.
Transformasi digital sertifikat tanah dari bentuk fisik menjadi elektronik yang digulirkan pemerintah telah memicu gelombang kekhawatiran di kalangan masyarakat. Sorotan utama tertuju pada isu keamanan data pribadi dan potensi kebocoran informasi yang rentan terjadi di dunia digital.
“Diubah elektronik, begitu server komputernya di-hack, hilang semua tuh tanah,” demikian salah satu kekhawatiran yang diungkapkan warganet di platform X.
Selain perdebatan mengenai keamanan data, publik juga menyoroti adanya kewajiban membayar biaya sebesar Rp50.000 untuk proses pengubahan sertifikat tanah ini. “Disuruh bayar untuk kerjaan dia… Terus barang kita diambil,” keluh akun warganet lainnya di X, mencerminkan rasa keberatan atas pungutan tersebut.
Kekhawatiran publik ini diperkuat oleh Rahma Mery, seorang pengajar hukum agraria, yang menyatakan keraguan mendalamnya terhadap kapabilitas pemerintah dalam menjaga keamanan data tanah masyarakat dalam format digital. “Terus terang saya tidak percaya sama sekali dengan keamanan digital yang dimiliki oleh pemerintah,” tegas Rahma.
Menurutnya, hal ini bukan tanpa alasan, mengingat “terbukti beberapa kali kan jebol termasuk institusi-institusi yang terpercaya.” Lebih lanjut, Rahma juga mengkritik kinerja administrasi Badan Pertanahan Nasional (BPN), menyebutkan bahwa “Pengalaman selama ini BPN ini adalah institusi yang secara administrasi sebenarnya kurang rapi.”
Menanggapi keraguan ini, Kepala Biro Humas dan Protokol Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Harison Mocodompis, mengklarifikasi bahwa program alih media sertifikat ini bersifat imbauan, bukan paksaan.
Ia menekankan bahwa langkah ini justru bertujuan untuk menjamin keamanan sertifikat warga. “Kalau pemerintah yang menjalankan security system-nya, berarti pemerintah yang akan memastikan keamanan ini menjadi sebuah keamanan berlapis dan terintegrasi,” papar Harison.
Wacana transformasi sertifikat tanah fisik menjadi elektronik ini muncul di tengah serangkaian kasus pemalsuan sertifikat yang melibatkan oknum pegawai Kantor Pertanahan di berbagai wilayah, serta insiden pencurian data warga di sejumlah lembaga pemerintahan. Kondisi ini semakin menambah kompleksitas perdebatan mengenai urgensi dan keamanan sertifikat tanah elektronik.
Dengan berbagai pandangan yang kontras ini, pertanyaan krusial pun muncul: apakah sebaiknya warga tetap mengubah sertifikat fisiknya menjadi sertifikat elektronik?
Mengapa pemerintah mengimbau perubahan sertifikat dari fisik menjadi elektronik?
Kabiro Humas dan Protokol Kementerian ATR/BPN, Harison Mocodompis, menjelaskan bahwa imbauan kepada warga untuk mengubah sertifikat fisik atau analog merupakan bagian integral dari penerapan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) yang sedang diimplementasikan di seluruh kementerian dan lembaga.
Inisiatif SPBE ini berlandaskan pada kerangka hukum yang kuat, yakni Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) dan Peraturan Presiden Nomor 132 Tahun 2022 tentang Arsitektur SPBE Nasional. Kementerian ATR/BPN sendiri telah menindaklanjuti dengan menerbitkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2023 tentang Penerbitan Dokumen Elektronik dalam Kegiatan Pendaftaran Tanah.
Harison mengklaim bahwa perubahan sertifikat analog menjadi elektronik adalah jaminan keamanan dan kepastian hukum bagi pemilik tanah. “Karena kalau sertifikat bukan berbasis elektronik itu justru paling gampang dipalsukan,” kata Harison kepada wartawan Johanes Hutabarat dari BBC News Indonesia, Rabu (04/06).
Untuk memproses alih media sertifikat ini, Harison menjelaskan bahwa warga perlu mendaftarkan sertifikatnya melalui aplikasi “Sentuh Tanahku” milik Kementerian ATR/BPN. Setelah itu, warga diwajibkan mendatangi kantor pertanahan setempat dan membayar biaya administrasi sebesar Rp50.000.
Sertifikat analog yang telah dialihmediakan menjadi elektronik nantinya akan disimpan secara fisik oleh Kantor Pertanahan sebagai bagian dari arsip negara. Perlu dicatat bahwa program alih media sertifikat ini diprioritaskan bagi pemilik sertifikat yang diterbitkan dalam rentang tahun 1961 hingga 1997.
Bagaimana pengamanan digital sertifikat tanah elektronik?
Mengenai aspek keamanan digital, Harison Mocodompis memaparkan bahwa pihaknya memiliki server khusus yang dirancang untuk menampung seluruh data sertifikat tanah. Ia juga mengungkapkan bahwa kementerian sedang mengembangkan sistem berbasis blockchain sebagai lapisan perlindungan data tambahan.
Dengan teknologi blockchain, “jika ada perubahan data, maka data perubahan itu harus terkonfirmasi di beberapa server. Tidak bisa hanya single server saja melakukan perubahan data,” jelas Harison, menyoroti sistem yang dirancang untuk mencegah manipulasi data secara sepihak.
Harison menambahkan bahwa Kementerian ATR/BPN juga bekerja sama dengan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) untuk memperkuat perlindungan data. Ia meyakini bahwa sistem pertahanan data di kementeriannya mampu mendeteksi upaya-upaya pembobolan.
Namun, ketika ditanya mengenai keamanan data dan sejumlah serangan siber yang telah menimpa lembaga-lembaga pemerintah, Harison mengakui bahwa tidak ada sistem pertahanan digital yang sempurna. “Mau di sistem manapun. Mau di sistem Pentagon, mau di sistem manapun, enggak ada 100%,” ujarnya jujur.
Meskipun demikian, ia menegaskan kembali bahwa “paling tidak, keamanan atau security system-nya itu kan pemerintah yang menjalankan.” Ia optimistis bahwa “Kalau pemerintah yang menjalankan security system-nya, berarti adalah pemerintah yang akan memastikan keamanan ini menjadi sebuah keamanan berlapis dan terintegrasi.”
Kontras dengan keyakinan pemerintah, pengajar hukum agraria Rahma Mery tetap menyuarakan keraguannya terhadap kemampuan pemerintah dalam mengurus keamanan digital. “Terus terang saya tidak percaya sama sekali dengan keamanan digital yang dimiliki oleh pemerintah,” kata Rahma.
Ia beralasan, “Karena ya terbukti beberapa kali kan jebol termasuk institusi-institusi yang terpercaya.” Kritik Rahma tak berhenti di situ, ia juga menyoroti “Pengalaman selama ini BPN ini adalah institusi yang secara administrasi sebenarnya kurang rapi.”
Senada dengan Rahma, Ahmad Jaetuloh, seorang peneliti isu agraria di Sajogyo Institute, berpendapat bahwa pemerintah seharusnya terlebih dahulu membenahi sistem Buku Tanah sebelum mengimbau warga untuk melakukan transformasi sertifikat tanah elektronik.
Buku Tanah adalah dokumen krusial yang dipegang oleh Kantor Pertanahan, memuat informasi lengkap seperti riwayat legal objek tanah dan data pengukurannya. “Buku tanah seringkali tidak sesuai data lapangan, rusak, hingga hilang,” ungkap Jaetuloh, menandakan adanya masalah mendasar yang perlu diselesaikan.
Menurut Jaetuloh, “Lebih baik lagi kalau BPN melakukan validasi ulang seluruh buku tanah lebih dahulu sebelum diintegrasikan ke sertifikat elektronik. Ini penting mengingat digitalisasi yang seringkali dilakukan oleh negara berujung pada kebocoran data,” sarannya.
Bagaimana dengan warga yang kurang terpapar digitalisasi?
Mengenai tantangan digitalisasi bagi masyarakat, Kabiro Humas dan Protokol Kementerian ATR/BPN Harison Mocodompis menyatakan keyakinannya bahwa lebih dari 80% warga Indonesia sudah memiliki akses internet. Oleh karena itu, menurutnya, “orang itu sudah cukup familiar dengan segala sesuatu yang sifatnya gadget.”
“Nah kalau ada layanan yang sifatnya elektronik, pakai Sentuh Tanahku juga, atau portal ATR/BPN yang bisa diakses juga menggunakan gadget, harusnya kan tidak ada masalah ya,” ujar Harison. Ia lebih lanjut menjelaskan bahwa karena program ini masih dalam bentuk imbauan, masih terdapat cukup waktu untuk melakukan diseminasi program secara lebih luas kepada warga.
Namun, pandangan berbeda disampaikan oleh pakar hukum agraria Rahma Mery. Ia melihat pemerintah cenderung menganggap pemahaman digital sudah merata di semua lapisan masyarakat, padahal realitasnya tidak demikian.
“Mereka yang berkonflik tanah di pedesaan itu rata-rata kan orang-orang tua yang tidak bisa baca dan tulis,” tukas Rahma. Bagi kelompok ini, dokumen fisik memiliki nilai dan kepercayaan yang sangat tinggi. “Kalau mereka punya sertifikat, ya sertifikat itu juga disimpan oleh mereka, kadang-kadang dilaminating, karena itu bentuk hard copy itu yang mereka yakini dan kemudian benar-benar mereka jaga,” paparnya.
Maka, menurut Mery, warga dari kelompok ini akan sangat terdampak dan rentan bila terjadi masalah seperti pembobolan data. Ia juga menilai mereka bisa jadi merasa keberatan karena tidak lagi memiliki sertifikat dalam bentuk analog yang mereka pegang dan yakini selama ini.
Mengapa perubahan ke elektronik hanya untuk sertifikat yang terbit pada 1961-1997?
Kabiro Humas dan Protokol Kementerian ATR/BPN Harison Mocodompis menjelaskan alasan di balik fokus alih media sertifikat tanah pada periode 1961-1997. Menurutnya, pada masa itu, sertifikat tanah tidak dilengkapi dengan peta kadaster atau peta resmi yang memberikan batasan kepemilikan yang akurat.
Peta kadaster ini sangat penting untuk memberikan informasi yang jelas mengenai batasan tanah seseorang. “Jangan sampai dia kemudian merasa tidak tahu juga posisi tanahnya di mana padahal dia punya sertifikat,” kata Harison, menyoroti urgensi data spasial yang presisi.
Namun, pengajar hukum agraria Rahma Mery mengkhawatirkan bahwa pemerintah memprioritaskan alih media pada sertifikat yang terbit di periode tersebut. Padahal, Rahma mengatakan, masih banyak warga yang menggunakan alas hak bukan sertifikat, seperti Letter C atau Letter D, yang di kemudian hari dapat berubah menjadi hak milik.
Dua jenis alas hak ini diketahui marak digunakan sebelum lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) pada tahun 1960. Alas hak seperti ini, lanjut Rahma, hanya berfungsi sebagai bukti pembayaran pajak dan bukan bukti kepemilikan tanah yang sah secara formal. Selain itu, Letter C dan Letter D juga memiliki sejumlah kekurangan, seperti ketidakakuratan pengukuran tanah.
“Saya justru khawatirnya di situ jadi masyarakat disuruh disuruh mengukur ulang disuruh melengkapi hal-hal yang sebetulnya itu memberatkan bagi masyarakat,” ungkap Rahma, mengkhawatirkan potensi beban tambahan bagi warga.
Mengapa sertifikat analog yang sudah jadi elektronik disimpan Kantor Pertanahan?
Kabiro Humas dan Protokol Kementerian ATR/BPN Harison Mocodompis menjelaskan bahwa sertifikat analog yang telah dialihmediakan menjadi sertifikat elektronik akan disimpan oleh pihak BPN. Dokumen fisik ini kemudian berfungsi sebagai “warkah” atau data pendukung yang memuat riwayat pendaftaran tanah yang penting.
Ketika ditanya perihal keamanannya, Harison mengibaratkan penyimpanan sertifikat oleh BPN layaknya proses menabung uang di bank. “Memegang ATM tanpa punya buku tabungan. Kira-kira masih mempertanyakan enggak keamanan uangnya?” retorikanya, menyiratkan bahwa kepercayaan pada sistem adalah kuncinya.
Menurut Harison, warga tetap dapat memeriksa status dan detail sertifikatnya secara mandiri melalui aplikasi “Sentuh Tanahku”. “Sehingga lalu lintas data apapun yang menyangkut sertifikat yang bersangkutan itu dapat dia baca melalui aplikasi elektronik,” tambahnya.
Namun, pakar hukum agraria Rahma Mery memiliki pandangan yang bertolak belakang. Ia menilai warga berada dalam posisi yang sangat tidak aman jika hanya memegang sertifikat dalam bentuk elektronik tanpa salinan fisik. Hal ini disebabkan oleh kerentanan penyimpanan data di lembaga-lembaga pemerintahan yang dinilai sering mengalami pencurian dan peretasan data.
“Berbahaya sekali bagi masyarakat karena sangat rawan,” tegas Rahma, menyoroti risiko keamanan digital yang nyata.
Mengapa alih media sertifikat masih dipungut biaya?
Kabiro Humas dan Protokol Kementerian ATR/BPN Harison Mocodompis memberikan penjelasan mengenai biaya pungutan sebesar Rp50.000 untuk alih media sertifikat. Ia menguraikan bahwa biaya ini merupakan penggantian blanko sertifikat, dari model lama ke model baru yang sesuai dengan standar elektronik.
Pungutan ini juga diatur secara jelas dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 128 Tahun 2015 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. “Ingin merubah sertifikat itu, membayar PNBP [Penerimaan Negara Bukan Pajak],” kata Harison.
Di sisi lain, Rahma Mery berpendapat bahwa kewajiban membayar Rp50.000 ini hanya akan menambah beban bagi warga, apalagi mereka juga harus meluangkan waktu dan tenaga untuk datang ke Kantor Pertanahan. “Karena kan masyarakat pun juga enggak ingin sebetulnya sertifikat elektronik itu, masyarakat kan sudah punya [sertifikat] dan itu sah dikeluarkan BPN,” pungkas Rahma, menggarisbawahi bahwa inisiatif ini dirasakan sebagai beban tambahan oleh masyarakat yang sudah memiliki sertifikat fisik yang valid.
Ringkasan
Pemerintah mengimbau konversi sertifikat tanah fisik menjadi elektronik, memicu kekhawatiran publik terkait keamanan data, literasi digital, dan biaya Rp50.000. Pakar hukum agraria meragukan kapabilitas digital pemerintah serta administrasi BPN yang dinilai kurang rapi. Kementerian ATR/BPN menjelaskan bahwa inisiatif ini, bagian dari Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE), bertujuan menjamin keamanan dan kepastian hukum kepemilikan tanah karena sertifikat fisik rentan pemalsuan. Prosesnya melibatkan pendaftaran online, pembayaran biaya, dan penyerahan sertifikat fisik untuk disimpan BPN sebagai arsip.
Untuk menjamin keamanan data, pemerintah mengklaim memiliki server khusus, mengembangkan sistem blockchain, dan bekerja sama dengan BSSN, meski mengakui tidak ada sistem yang 100% sempurna. Namun, kritikus tetap skeptis terhadap keamanan digital pemerintah mengingat riwayat kebocoran data di lembaga lain. Selain itu, muncul kekhawatiran tentang beban biaya bagi masyarakat yang sudah memiliki sertifikat sah dan tantangan bagi warga yang kurang terpapar digitalisasi. Prioritas program ini diberikan pada sertifikat yang diterbitkan antara tahun 1961-1997.