Sejumlah calon jemaah haji yang mendaftar melalui jalur mujamalah, atau undangan langsung dari Kerajaan Arab Saudi, harus menelan pil pahit kegagalan berangkat. Otoritas Arab Saudi tak lagi menerbitkan visa hingga Minggu (01/06) kemarin.
Visa haji mujamalah—atau yang juga dikenal dengan haji furada—sudah lama menjadi sorotan. Pasalnya, ada potensi besar calon jemaah haji pengguna visa ini tidak jadi berangkat ke Mekkah, dan kondisi ini kerap dimanfaatkan sebagai ladang penipuan.
Sebelumnya, sempat beredar informasi bahwa visa mujamalah akan terbit selambat-lambatnya pada Minggu (01/06). Namun, Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kementerian Agama, Hilman Latief, dengan tegas menyatakan bahwa pemerintah Indonesia “belum mendapatkan informasi apa pun terkait dengan hal tersebut.”
Hilman menambahkan, otoritas Arab Saudi telah resmi menutup proses penerbitan visa bagi jemaah haji—termasuk furada—sejak 26 Mei 2025. “Saya sudah mendapat konfirmasi dari Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi bahwa proses pemvisaan sudah tutup per 26 Mei 2025 pukul 13.50 waktu Arab Saudi,” terang Hilman di Jeddah, Arab Saudi, pada Rabu (28/5).
Menteri Agama, Nasaruddin Umar, mengungkapkan bahwa pemberian visa mujamalah berada “di luar kewenangan kami.” Meski demikian, pemerintah Indonesia, imbuh Umar, “telah melakukan komunikasi siang dan malam” dengan otoritas Arab Saudi terkait persoalan ini.
Seorang calon jemaah haji yang terdampak berbagi perasaannya kepada BBC News Indonesia, menyatakan ia “sedih dan kecewa.” Meskipun begitu, ia masih menyimpan harapan untuk dapat berangkat haji tahun depan.
Di sisi lain, para pengusaha travel menyarankan agar pemerintah Arab Saudi sebaiknya mengumumkan kebijakan visa mujamalah jauh-jauh hari, alih-alih menjelang keberangkatan. Hal ini bertujuan agar pihak-pihak yang berurusan dengan haji dapat meminimalisir potensi kerugian.
Ketua Komnas Haji dan Umrah, Mustolih Siradj, mendesak pemerintah untuk lebih berperan aktif dalam tata kelola haji furada. Ini termasuk upaya pencegahan agar skema tersebut tidak dimanfaatkan untuk mengeruk keuntungan pribadi dari calon jemaah haji.
Kado ulang tahun yang gagal
Nurita Indiyastuti, yang akrab disapa Rita, tak sabar menanti hari ulang tahunnya yang jatuh pada 28 Mei, Rabu lalu. Pasalnya, kado istimewa yang sangat ia tunggu akan tiba: keberangkatan untuk menunaikan ibadah haji. Perempuan berusia 55 tahun asal Solo ini memilih jalur haji furada.
Rita menganggap pelaksanaan haji 2025 akan sangat istimewa karena proses wukuf di Arafah bakal bertepatan dengan hari Jum’at, yang diyakini umat muslim sedunia sebagai penanda haji akbar. Rita tak mau kehilangan momentum berharga itu.
Pada Selasa (27/5) malam, Rita memutuskan untuk bertolak ke Jakarta. Meskipun belum ada tanda-tanda visanya keluar, ia tetap memilih pergi ke Jakarta guna berjaga-jaga. Ia tidak pamit kepada tetangganya, berbeda dari tradisi umum orang yang hendak berhaji, dan memilih merahasiakannya untuk sementara waktu. Segala persiapan dan persyaratan, seperti vaksin meningtitis, telah ia tuntaskan.
“Suami saya bilang sebelum visa keluar, tidak boleh ada orang tahu,” ucapnya kepada Fajar Sodiq yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Minggu (1/6).
Sesampainya di Jakarta, Rita masih belum mendapatkan kepastian kapan visanya akan ia pegang. Biro haji dan umrah tempat ia memberikan mandat sempat menginformasikan bahwa “penerbitan visa agak mundur ketimbang biasanya.” Rita mencoba untuk tidak berpikir macam-macam. Ia percaya visa segera keluar.
“Kami tahu ternyata 28 [Mei] malam bahwa semua visa furada tidak keluar,” ceritanya dengan nada kecewa. “Jadi, saya benar-benar ambruk, di titik nadir, pada hari ulang tahun saya.”
Kepastian gagal berangkat ke Arab Saudi membuat Rita “pulang ke Solo dalam keadaan sakit dan kecewa.” “Tapi, kembali lagi, itu panggilan dari Allah,” ia membesarkan diri.
Rita tidak sendirian. Ia mendaftar haji furada bersama rombongan teman-teman dekatnya yang berjumlah 10 orang. Persiapannya tidak memakan waktu lama, hanya sekitar sebulan sebelum keberangkatan, sebut Rita.
Uang keberangkatan untuk haji furada ia kumpulkan selama kurang lebih lima tahun dalam wujud tabungan dollar AS. Pemilihan jalur furada turut dilandasi oleh latar belakang finansialnya yang berkecukupan. “Kebetulan sudah kami siapkan semua. Begitu nanti visa keluar, kami tinggal berangkat,” imbuhnya.
Kini, Rita agak sedikit lega karena biro perjalanan yang ia pilih menyatakan siap bertanggung jawab. Rita dan teman-temannya dijanjikan keberangkatan di tahun depan, sekalipun belum tahu apakah masih akan menggunakan haji furada atau tidak.
Kerugian dan hal yang terulang
Pemilik travel Sianok Indah Holiday, Khaidur Jumin, menjelaskan bahwa biasanya terdapat dua pilihan yang ditawarkan biro perjalanan kepada calon jemaah haji furada yang gagal berangkat.
“Kami menawarkan uang kembali dengan potongan 10%, dan yang kedua adalah di-reschedule,” jelasnya kepada Halbert Chaniago yang mewartakan untuk BBC News Indonesia, Minggu (1/6).
Pada tahun ini, Khaidur tidak melayani pemberangkatan haji furada. Ia hanya mengurus haji khusus untuk tiga orang, yang telah terbang ke Arab Saudi per 23 Mei 2025.
Ketua Umum Sarikat Penyelenggara Haji dan Umrah (Sapuhi) sekaligus Direktur Patuna Travel, Syam Resfiadi, menjelaskan bahwa hampir semua travel yang mengurus haji furada mengalami kerugian. Hal ini disebabkan perolehan kuota yang jauh dari bayangan.
Jumlahnya, ungkap Syam, “hanya 10% sampai 15%” dari target yang dicanangkan. Sapuhi sendiri menaungi kurang lebih 260 perusahaan perjalanan haji dan umroh.
Patuna Travel, perusahaan miliknya, tahun ini tidak memperoleh kuota haji furada, sama seperti pada 2022. Syam menerangkan bahwa setiap perusahaan travel mempunyai beberapa opsi dalam hubungannya dengan ganti rugi ke calon jemaah haji.
“Pertama, semua uang di-refund. Kedua, uang yang disetorkan diubah menjadi haji khusus ke pemerintah untuk tahun-tahun mendatang,” paparnya merespons BBC News Indonesia.
Sedangkan yang ketiga ialah “kombinasi antara sebagian refund dan sisanya ditaruh ke pemerintah,” tambah Syam.
Syam mengutarakan, “hal-hal seperti ini memang biasa terjadi di bisnis haji furada.” Setiap situasi mempunyai risiko masing-masing. Andai mendapatkan kuota haji furada, jika tidak dibarengi dengan pemrosesan jauh-jauh hari seperti pemesanan hotel, maka “tidak akan bisa memperoleh sesuai paket yang ditawarkan maupun diinginkan.”
“Namun memang akan terjadi risiko terlalu tinggi kalau tidak dapat,” imbuhnya. Implementasi haji furada, Syam menerangkan, “tidak stabil dan selalu dinamis bergerak” sehingga “para pengusaha harus bisa fleksibel dalam menanggapinya secara bisnis.”
Kegagalan calon jemaah haji furada tidak hanya terjadi tahun ini saja. Sejak kuota haji dibuka kembali usai Covid-19, kegagalan keberangkatan calon jemaah haji furada muncul pada 2022, 2023, dan 2024. Data berapa banyak calon jemaah haji yang terdampak sulit diperoleh, begitu pula kerugian perusahaan jasa travel dari tahun ke tahun.
Mengapa visa untuk haji furada tidak terbit?
Kewenangan menerbitkan visa untuk haji furada sepenuhnya berada di tangan Kerajaan Arab Saudi. Hanya mereka yang mengetahui jawaban mengapa, misalnya, visa furada tidak banyak dikeluarkan.
Ketua Komnas Haji dan Umrah, Mustolih Siradj, membacanya sebagai usaha Arab Saudi guna membenahi pengelolaan haji supaya lebih berdampak terhadap sektor perekonomian. “Kebijakan Arab Saudi sering mengejutkan dan sangat ketat. Contohnya, mereka yang menunaikan ibadah haji harus memakai visa haji,” ucapnya kepada BBC News Indonesia, Minggu (1/6) malam.
Ketika penerus takhta Raja Salman, Mohammed bin Salman (MBS), banyak memegang kendali pemerintahan, tata kelola haji dan umrah mesti sejalan dengan Visi 2030. Visi 2030 merupakan rencana jangka panjang dari Arab Saudi untuk lepas dari ketergantungan akan minyak dan gas bumi sebagai pilar perekonomian. Arab Saudi ingin menjajaki dan memanfaatkan sektor lain dalam menebalkan kas keuangan negara.
MBS, terang Mustolih, melihat haji dan umrah memiliki potensi besar menjadi sumber devisa negara yang sangat menjanjikan. “Makanya kalau saya melihat ini ada benang merahnya ke sana, bahwa Arab Saudi sedang wait and see dalam konteks penataan ibadah haji,” tutur Mustolih.
“Walaupun secara kalkulasi mereka juga rugi karena haji furada itu bukan haji umum. Ini haji dengan biaya tinggi.”
Pendeknya, Arab Saudi, kata Mustolih, tengah mengevaluasi aspek apa saja yang perlu dipertahankan atau tidak ketika bicara mengenai pelaksanaan haji maupun umrah. Faktor berikutnya, lanjut Mustolih, adalah keamanan di kawasan Timur Tengah.
Mustolih berpendapat, kondisi Timur Tengah beberapa waktu belakangan lebih sering bergejolak, mulai dari Iran, Yaman, Suriah, hingga Irak. Penerbitan visa haji nonresmi disinyalir turut mempertimbangkan perkembangan geopolitik tersebut.
Haji dengan tawaran fasilitas premium
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah menetapkan—termuat di pasal 8 ayat 1—pemberangkatan haji didasarkan kepada kuota.
Ada dua kuota yang diatur pemerintah: kuota haji reguler dan haji khusus. Pada 2025, kuota haji yang diputuskan pemerintah—reguler maupun khusus—ialah 221.000 orang, dengan rincian 203.320 untuk reguler dan sisanya diberikan ke kuota khusus.
Di luar dua kuota tersebut, pemberangkatan haji juga mengenal furada dengan visa jenis mujamalah. Kata furada diambil dari bahasa Arab yang berarti “terpisah” atau “sendirian.”
Haji furada tidak termasuk dalam kuota yang ditetapkan pemerintah. Ia berdiri sendiri dan mengambil jatah undangan yang disediakan Kerajaan Arab Saudi. Pemerintah Indonesia menilai “undangan” haji dari Arab Saudi ini merupakan bentuk penghormatan sekaligus penghargaan atas hubungan diplomatik yang sudah terjalin.
Pemberian visa haji mujamalah tidak cuma ke Indonesia, tapi juga ke negara-negara lain yang selama ini turut mengirimkan jemaah hajinya. Sebab bentuknya bisa dikata adalah “undangan,” maka Kerajaan Arab Saudi berwenang mutlak untuk segala teknisnya, seperti berapa jumlah kuota yang disodorkan.
Di Indonesia, pemberangkatan haji furada diserahkan kepada Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) yang mendapatkan izin operasional dari Menteri Agama. Semua hal yang berkaitan dengan calon jemaah haji dirumuskan oleh perusahaan travel dan perjalanan yang berstatus PIHK—lalu melapor ke Menteri Agama.
Dari segi harga, haji furada lebih besar ketimbang reguler dan khusus. Setiap perusahaan perjalanan dapat membebankan biaya sesuai hitung-hitungan mereka.
“Kalau dari kami sekitar US$20.000-US$23.000 untuk furada, dan itu tidak banyak,” ungkap pemilik travel Sianok Indah Holiday, Khaidur Jumin. Jika dikonversi ke rupiah, dengan nilai kurs sekarang, maka dapat di angka Rp324 juta hingga Rp372 juta.
Tingginya harga haji furada dipicu oleh penawaran atas sejumlah fasilitas premium. Dengan furada, calon jemaah haji tak perlu mengikuti antrean yang panjang—lebih dari 5 tahun. Pendaftaran dan keberangkatan dapat terjadi di tahun yang sama.
Dalam iklan salah satu perusahaan travel yang dilihat BBC News Indonesia, mereka “menjual” haji furada dengan iming-iming seperti menginap full di hotel selama ibadah berlangsung atau memperoleh tenda kelas atas yang dapat dipakai di sela-sela kegiatan. Untuk menebusnya, calon jemaah haji harus merogoh kocek hingga US$28.000, sekitar Rp462 juta.
Ladang penipuan
Haji furada hadir di antara kehendak kuat untuk pergi ke Tanah Suci tanpa harus menunggu lama, serta kenyamanan dalam beribadah. Namun, dalam praktiknya, haji furada justru seringkali dimanfaatkan untuk penipuan.
Pada 2024, 24 orang Warga Negara Indonesia (WNI) ditangkap polisi Kerajaan Arab Saudi setelah terciduk melakukan haji dengan visa umrah. Mereka mengaku visa yang dibawa adalah undangan dari Kerajaan Arab Saudi. Setelah dicek, ternyata bukan.
Setahun sebelumnya, 46 warga ditipu berkat iming-iming berangkat ke Mekkah tanpa antrean dengan program haji furada. Pelaku datang ke pengajian, membujuk korban, dan mengeruk ratusan juta dari masing-masing mereka. Total kerugian mencapai Rp4,6 miliar. Puluhan korban ini diberangkatkan menggunakan visa Malaysia dan Singapura yang diubah jadi visa haji ke Arab Saudi. Dokumen palsu itu terbongkar di bandara Arab Saudi dan mereka akhirnya dideportasi.
Di Gresik, Jawa Timur, peristiwa culas muncul pada Oktober 2024. Agen travel menipu satu keluarga di balik tawaran haji furada. Ia meminta keluarga tersebut mengirim lebih dari Rp900 juta. Namun, hanya Rp550 juta yang masuk ke travel, sisanya dibawa lari pelaku.
Beberapa bulan sebelumnya, aparat meringkus petinggi perusahaan travel umrah di Surabaya. Secara izin, perusahaan ini hanya untuk umrah. Namun, realitanya, mereka juga menjual program haji furada. Salah satu korban ditipu hingga lebih dari Rp550 juta untuk paket haji furada. Di Arab Saudi, korban tidak memperoleh fasilitas yang dijanjikan perusahaan.
Di Madiun, Jawa Timur, akhir 2024 lalu, polisi menahan karyawan travel setelah melakukan penipuan sekaligus pemerasan berkedok haji furada. Tindak pidana ini ia lakukan selama bertahun-tahun. Satu orang korban lalu membawa kasusnya ke polisi. Ia rugi lebih dari Rp100 juta—dan tidak berangkat ke Arab Saudi.
Masih di Jawa Timur, tepatnya di Sidoarjo, seorang warga ditipu dengan tawaran haji furada. Uang senilai lebih dari Rp850 juta raib dibawa tersangka. Ia dijanjikan pengurusan visa dan jadwal keberangkatan. Setelah korban melunasi uang yang diperlukan, pelaku kemudian menghilang.
Negara harus hadir
Keberadaan haji furada sudah lama menjadi sorotan, ungkap Ketua Komnas Haji dan Umrah, Mustolih Siradj. Oleh karena itu, penting bagi negara untuk turut andil dalam memperbaiki pelaksanaannya.
Dalam konteks penipuan, Mustolih menilai perlu adanya informasi yang komprehensif mengenai perusahaan travel yang terdaftar sebagai Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK)—atau yang berizin.
“Karena kalau tidak berizin dan sudah mengirimkan calon jemaah haji ke Arab, itu yang repot melacaknya,” jelasnya. Penipuan berkedok haji furada rata-rata selalu berpola sama. Penerbangan yang dipakai, ambil contoh, bukan langsung ke Jeddah, Arab Saudi. Lalu untuk visa, pelaku memakai visa kunjungan terbatas dan mengemasnya menjadi visa haji.
Sementara untuk kasus terkini, dalam hal calon jemaah yang gagal berangkat, Ketua Umum Sarikat Penyelenggara Haji dan Umrah (Sapuhi), Syam Resfiadi, mengusulkan pembiayaan haji di luar kuota resmi turut dimasukkan dalam ketentuan undang-undang.
“Yaitu haji kuota reguler, haji kuota khusus, dan haji cepat. Sehingga mengantisipasi betul apabila gagal dapat visa khusus yang bersifat undangan dari Kerajaan Saudi, sisa kuota ini bisa diperuntukkan kepada mereka,” jelasnya.
Kuota untuk haji cepat ini didasarkan pada angka pendaftaran haji furada sejauh ini. Dari situ, pemerintah mampu membuat perkiraan persentasenya.
Penyediaan kuota baru tidak dilakukan secara “cuma-cuma.” Pemerintah bisa meminta mereka yang ingin mengantre dalam kurun waktu relatif singkat—di bawah masa tunggu haji khusus—untuk menyetor sejumlah uang yang nantinya dikelola Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).
“Bukan maksud mencari keuntungan, tapi untuk mencari subsidi juga bagi para jemaah haji reguler yang memang membutuhkan subsidi itu sendiri,” tambahnya.
Mustolih mengamini bahwa perlu adanya diskusi lebih serius terkait pengelolaan furada. Ia melihat pemerintah dapat mengeluarkan aturan turunan khusus yang membahas mengenai pelaksanaan haji furada. Terdapat banyak poin krusial yang semestinya dilindungi dan dipastikan keberlangsungannya agar “calon jemaah haji dan pengusaha travel tidak sama-sama dirugikan,” tandas Mustolih.
“Ini penting untuk ditata sebab haji furada itu ada elemen persaingan bisnis, perlindungan jemaah haji supaya enggak ditipu, juga pengaturan harga,” tuturnya. Pelaksanaan ibadah haji, Mustolih menerangkan, akan sangat bergantung dengan kebijakan Arab Saudi, mulai dari pengurangan kuota, penambahan biaya, hingga pemberian izin. Di sinilah pemerintah sudah semestinya merespons dengan adaptif.
Wartawan Fajar Sodiq dari Solo dan Halbert Chaniago dari Padang, berkontribusi atas liputan ini.
Ringkasan
Sejumlah calon jemaah haji melalui jalur furada atau mujamalah gagal berangkat tahun ini karena otoritas Arab Saudi telah menutup penerbitan visa sejak 26 Mei 2025. Visa ini, yang merupakan undangan langsung dari Kerajaan Arab Saudi, berada di luar kuota haji resmi Indonesia dan kerap menjadi sorotan karena potensi kegagalan keberangkatan serta penipuan. Pemerintah Indonesia menyatakan hal ini di luar kewenangan mereka, sementara Arab Saudi diyakini membatasi visa untuk mendukung Visi 2030 dan faktor keamanan regional.
Kegagalan ini menimbulkan kekecewaan besar bagi jemaah dan kerugian bagi agen travel, meskipun haji furada menawarkan fasilitas premium tanpa antrean panjang. Namun, skema ini sering dimanfaatkan untuk penipuan, seperti penggunaan visa palsu atau janji fasilitas yang tidak terpenuhi. Oleh karena itu, Komnas Haji dan Umrah serta asosiasi travel mendesak pemerintah Indonesia untuk lebih aktif menata tata kelola haji furada, termasuk pencegahan penipuan dan kemungkinan pengaturan kuota haji cepat dalam undang-undang.