Abral Wandikbo, seorang pemuda asli Papua dari Kampung Waredobopem, Distrik Mebarok, Kabupaten Nduga, Papua Pegunungan, ditemukan tewas dengan kondisi tubuh yang mengenaskan. Keluarga dan pejabat distrik meyakini Abral meninggal di tangan tentara Indonesia, namun tuduhan ini dengan tegas dibantah oleh juru bicara TNI. Akankah kematian Abral diusut tuntas secara hukum?
Peringatan: Artikel ini mengandung rincian kekerasan yang mungkin akan mengganggu kenyamanan Anda.
Pada pertengahan Januari lalu, puluhan prajurit TNI tiba di lapangan terbang Kampung Yuguru, Distrik Mebarok, Nduga. Wilayah Yuguru ini merupakan lokasi di mana pilot asal Selandia Baru, Philip Mehrtens, ditahan sebagai sandera milisi pro-kemerdekaan selama 16 bulan.
Kedatangan para tentara tersebut menimbulkan kejutan dan kekhawatiran di kalangan warga, seperti yang diungkapkan Kogeya, seorang pria paruh baya yang lahir dan besar di distrik itu. “Warga cemas menjadi korban operasi militer,” ujarnya, mencerminkan ketakutan akan potensi dampak dari kehadiran militer.
Untuk meredam kecemasan yang meluas di masyarakat, Kepala Distrik Mebarok, Nus Gwijangge, mengambil inisiatif. Ia mengajukan kesepakatan dengan pimpinan TNI yang tiba di landasan pesawat Kampung Yuguru pada awal Februari lalu.
Bersama sejumlah kepala kampung dan perwakilan gereja, Nus mengajukan permohonan penting: agar tentara tidak beraktivitas lebih dari Kali Merame dan Kali Waru. Permintaan ini disampaikan langsung kepada Bambang Trisnohadi, seorang jenderal bintang tiga yang menjabat Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan III.
Namun, menurut Nus, kesepakatan tersebut rupanya dilanggar oleh militer Indonesia. Pada tanggal 22 Maret, sekitar pukul 05.00 pagi, puluhan tentara dilaporkan meninggalkan pos mereka. Mereka bergerak sekitar 800 meter untuk menyisir setiap rumah di Kampung Waredobopem.
Di kampung itu, pasukan militer mengepung dan kemudian memasuki sebuah honai, rumah tradisional Papua. Di honai itulah Abral Wandikbo, pemuda berusia 27 tahun, tinggal bersama kakak dan ayahnya. “Mereka bawa Abral ke pos,” tutur Nus dalam wawancara via telepon, menggambarkan momen penangkapan.
Tiga hari setelah dibawa ke pos militer, tepatnya pada 25 Maret, Abral ditemukan tidak bernyawa di sebuah kebun di Kampung Kwit. Kerabat menemukan jasad Abral dalam posisi telungkup di atas tanah, dengan kedua tangannya terikat tali segel plastik ke belakang pinggang.
Keterangan ini diungkapkan oleh Theo Hasegem, Ketua Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua. Theo, bersama sejumlah lembaga sipil lainnya seperti Kontras dan Amnesty Internasional, secara resmi mengadukan kematian Abral ke Komnas HAM pada Jumat, 13 Juni.
Theo menjelaskan bahwa Abral tewas dalam kondisi yang tidak manusiawi. Kedua telinganya terpotong, begitu pula hidung dan mulutnya. Dahi Abral tampak terkelupas, dan kakinya menunjukkan tanda-tanda melepuh. Kondisi mengenaskan jasad Abral ini didokumentasikan dalam sejumlah foto yang telah dilihat oleh BBC News Indonesia.
“Kami sedih dan sangat sakit hati,” ujar YW, kerabat Abral, saat ditemui di Jakarta. Jo, yang meminta diidentifikasi hanya dengan inisialnya, menuntut agar para pelaku pembunuhan Abral segera diadili dan dibawa ke pengadilan.
Di sisi lain, TNI secara resmi membantah tuduhan bahwa prajurit mereka terlibat dalam kematian Abral. Kepala Pusat Penerangan Markas Besar TNI, Mayor Jenderal Kristomei Sianturi, menyatakan bahwa Abral tewas karena “melompat ke arah jurang” saat dalam pengawasan.
“Tuduhan pelanggaran HAM seperti ini selalu dilakukan OPM [Organisasi Papua Merdeka—istilah lain yang merujuk ke TPNPB],” tambah Kristomei, mengaitkan tudingan tersebut dengan kelompok separatis.
Siapa Abral Wandikbo? Mengapa dia dicari tentara?
Kepala Distrik Mebarok, Nus Gwijangge, mengidentifikasi Abral sebagai saudaranya. “Dia itu adik saya jadi saya tahu apa yang saya sampaikan ini,” kata Nus, menegaskan kedekatan dan pengetahuannya tentang Abral.
Nus menuturkan, sepanjang hidupnya, Abral tidak pernah meninggalkan Mebarok. Sebagai gambaran, distrik ini berada di Nduga, salah satu kabupaten dengan tingkat kemiskinan paling ekstrem di Indonesia.
Sebelum insiden penyanderaan pilot Philip Mehrtens, pesawat perintis biasanya melayani penerbangan ke Distrik Mebarok, mendarat di landasan Kampung Yuguru. Mayoritas penduduk Mebarok umumnya harus menempuh perjalanan kaki setidaknya empat hari jika ingin bepergian ke Kota Wamena di Kabupaten Jayawijaya atau Kuyawage di Kabupaten Lanny Jaya.
Namun, Nus mengklaim bahwa Abral tidak pernah bepergian keluar dari tanah kelahirannya. Abral juga tidak pernah bersekolah, dan sepanjang hidupnya, ia berkomunikasi hanya dalam bahasa ibunya, tidak bisa berbahasa Indonesia. “Handphone juga dia belum pernah pegang,” ujar Nus, menambahkan bahwa Abral menghabiskan sebagian besar waktunya bertani di kebun—satu-satunya cara keluarganya mendapatkan sumber makanan.
Selain mengurus kebun, kata Nus, Abral juga merawat ayahnya yang telah sakit-sakitan selama bertahun-tahun. Informasi serupa juga disampaikan oleh Yordan, seorang pemuda dari Kampung Yuguru yang sebaya dengan Abral, yang mengenal Abral sejak kecil. “Saya dan anak-anak Yuguru pergi ke kota untuk sekolah. Abral tetap tinggal di kampung,” kenang Yordan.
Kogeya, warga Yuguru, sempat melihat Abral di landasan pesawat pada Februari silam. Saat itu, pasukan TNI meminta warga Distrik Mebarok untuk berkumpul guna membersihkan landasan pesawat.
Merujuk keterangan warga yang dikumpulkannya, Theo Hasegem menyatakan bahwa setiap laki-laki yang ikut membersihkan landasan diperiksa secara ketat oleh tentara. Theo menambahkan, tentara menanyakan identitas dan mendesak warga untuk mendapatkan informasi mengenai keberadaan milisi Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB). “Celana, baju, jaket, noken semua diperiksa,” katanya.
Sosok Abral yang dikenal oleh warga dan keluarganya sangat jauh berbeda dengan tuduhan yang disampaikan oleh militer Indonesia. Ketika ditangkap pada 22 Maret lalu, Abral tidak mampu berkomunikasi dengan para tentara yang datang dengan senjata. Tidak ada satupun pasukan TNI yang bisa berbicara dalam bahasa setempat, sementara Abral sama sekali tidak paham bahasa Indonesia.
“Jika kamu lari, maka kami akan menembakmu,” kata Theo, menirukan ucapan tentara sesuai kesaksian kakak Abral, Yulem Wandikbo. Yulem, seorang pendeta yang dapat berbahasa Indonesia, berada di honai saat kejadian pada subuh 22 Maret dan menerjemahkan perkataan tentara kepada Abral.
Theo Hasegem menegaskan bahwa saat itu Abral tidak berusaha melarikan diri. Namun, ia kemudian dibawa dari honai menuju pos militer. Sepanjang perjalanan itu, menurut klaim Theo, Abral mengalami penyiksaan yang brutal.
Pada tanggal 22 dan 23 Maret, warga Distrik Mebarok berbondong-bondong mendatangi lapangan udara di Kampung Yuguru, mendesak pembebasan Abral. Di landasan pesawat itu, pasukan TNI telah mengubah kantor distrik menjadi pos militer. Papan bertuliskan ‘Tim Taipur Titik Kuat Yuguru’ bahkan dipasang di depan pos militer tersebut.
Di hadapan warga, Theo Hasegem menceritakan bahwa pimpinan pasukan militer memaparkan tuduhan mereka terhadap Abral. Berbagai tuduhan yang disampaikan kepada warga ini serupa dengan yang dipaparkan Juru Bicara TNI, Mayjen Kristomei Sianturi, kepada BBC News Indonesia.
TNI menuduh Abral sebagai anggota TPNPB, mendasarkan tuduhan itu pada sebuah foto seorang laki-laki berambut gimbal yang tengah memegang senjata laras panjang. TNI menuding sosok di foto tersebut adalah Abral. Bukti lain yang diklaim TNI adalah sebuah foto yang memperlihatkan seseorang memegang poster bertuliskan “Tolak pos militer Indonesia di Yuguru.” Tentara menuduh orang yang memegang poster di foto itu juga adalah Abral.
Namun, kerabat Abral, YW, dengan tegas membantah seluruh tuduhan tersebut. “Saya tidak terima dengan tuduhan itu,” ujarnya. Kepala Distrik Mebarok, Nus Gwijangge, juga membantah tuduhan TNI. “Saya tidak tipu-tipu. Menipu itu dosa di mata Yang Maha Kuasa,” tegasnya, bersumpah atas kebenaran perkataannya.
Bagaimana Abral Wandikbo tewas?
Mayjen Kristomei Sianturi mengklaim bahwa Abral “bersedia menjadi penunjuk jalan” saat diinterogasi tentara. Menurut Kristomei, Abral akan membawa pasukan TNI ke Kampung Kwit, menuju sebuah honai yang diyakini menyimpan dua pucuk senjata api.
Di tengah perjalanan menuju Kwit, Kristomei mengklaim bahwa “Abral melarikan diri ke arah jurang.” Pasukan TNI disebut Kristomei sempat mengeluarkan tembakan peringatan, namun kemudian memutuskan untuk mengejar Abral. Namun, apa yang disampaikan Kristomei ini sangat berbeda dengan kesaksian warga. Seperti foto-foto yang dikumpulkan kerabat Abral, jasad pemuda ini ditemukan di sebuah kebun, bukan di dalam jurang seperti klaim TNI.
Theo Hasegem menuturkan, pada 24 Maret, sekitar pukul 22.00 WIT, sejumlah warga melihat “pasukan TNI membunuh Abral di pinggir Kali Mrame lalu membuang jasadnya di kebun.” Warga meyakini hal tersebut, kata Theo, karena “mereka melihat cahaya senter di lokasi yang sama dengan titik penemuan jenazah Abral.”
Selain ditemukan dalam kondisi tubuh yang tidak manusiawi, sebuah gelang bercorak bintang kejora juga terpasang di pergelangan tangan Abral. Kondisi ini dianggap aneh oleh YW dan Nus Gwijangge, sebab Abral tidak pernah memiliki gelang tersebut. “Sejak kecil dia tidak pernah pakai gelang. Saya tahu persis,” kata YW, meyakinkan.
‘Kehilangan nyawa karena bukti foto semata’
Hingga berita ini diterbitkan, keluarga Abral bersama 11 kelompok advokasi sipil telah mengajukan laporan resmi ke Pusat Polisi Militer di Jakarta pada 12 Juni lalu. Mereka juga telah mengadukan kasus ini ke Komnas HAM serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Ditemui di kantor Komnas HAM, Ronald Rischard, Kepala Biro Papua di Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), mengecam tindakan militer terhadap Abral yang hanya didasarkan pada bukti foto. “Di foto itu ada orang Papua sedang memegang senjata. Fotonya juga kurang jelas,” kata Ronald. “Dan tidak dapat dibuktikan apakah orang di dalam foto itu merupakan Abral atau bukan.”
“Ini pola yang terjadi di Papua—ada pandangan rasis dan stigmatisasi,” ujar Ronald, menyoroti pola diskriminasi yang kerap terjadi. Pada pertemuan dengan pasukan TNI yang diwakili Letjen Bambang Trisnohadi, pada awal Februari lalu, Kepala Distrik Nus Gwijangge sempat secara khusus meminta agar tentara tidak menganggap rambut gimbal, kumis, dan brewok sebagai identitas milisi TPNPB.
Alasannya, kata Nus, mewakili warga, ketiganya adalah bagian dari identitas budaya orang asli Papua di wilayah pegunungan. Oleh karena itu, Nus meminta tentara untuk tidak menangkap, menginterogasi, atau menyiksa laki-laki Papua yang berambut gimbal atau memiliki kumis dan brewok tebal. “TNI telah sewenang-wenang, tidak melakukan proses hukum atau membuktikan orang di foto itu Abral atau bukan,” kata Ronald dari PGI.
Ronald juga menyatakan bahwa Abral bukanlah satu-satunya laki-laki asli Papua yang kehilangan nyawa atas tuduhan terlibat gerakan separatis tanpa melalui proses pengadilan yang semestinya.
Bagaimana situasi terkini di Yuguru dan kampung-kampung lain di Mebarok?
Hampir semua warga kini telah melarikan diri ke hutan, kata Nus Gwijangge. Ia menambahkan, ada pula sebagian warga yang mengungsi hingga ke Wamena dan Lanny Jaya, mencari perlindungan. “Saya baru-baru ini bertemu Panglima Kogabwilhan III di Kenyam (ibu kota Nduga). Saya memohon agar tentara jangan mengejar masyarakat,” kata Nus, menyampaikan permohonan tulusnya.
Nus menegaskan bahwa warga di kampungnya seharusnya tidak terusik jika tentara hanya menyasar Egianus Kogoya dan milisi TPNPB. “Silakan kejar mereka (TPNPB), tapi mereka tidak ada di Mebarok atau Yuguru,” ujar Nus, menolak premis keberadaan kelompok bersenjata di wilayahnya.
TNI sendiri telah membantah berbagai tudingan tentang dampak negatif keberadaan pasukan mereka di Distrik Mebarok, termasuk tuduhan perusakan rumah warga dan sekolah. Mayor Jenderal Kristomei mengklaim bahwa TNI mengerahkan pasukan ke distrik itu justru untuk “melindungi masyarakat.”
Hingga saat ini, penerbangan perintis menuju lapangan terbang Yuguru urung dibuka kembali. Padahal, sejak pembebasan pilot Philip Mehrtens, penerbangan itu menjadi salah satu yang paling diharapkan warga, kata Nus Gwijangge. Nus juga mengungkapkan bahwa kampung-kampung sekarang tidak hanya sepi, namun pembangunan infrastruktur seperti sekolah yang dijanjikan pemerintah juga belum terlaksana, menambah kesengsaraan warga.
Satu hari setelah ditemukan, pada 25 Maret silam, kerabat dan sejumlah warga membakar jenazah Abral di depan honainya. Prosesi tersebut, kata YW, merupakan tradisi penghormatan terakhir bagi orang-orang asli Papua di Mebarok. Empat hari setelahnya, ayah Abral yang telah bertahun-tahun sakit juga mengembuskan napas terakhir. Theo menjelaskan bahwa ayah Abral mengalami serangan jantung, diduga akibat syok dan kesedihan mendalam setelah melihat putranya tewas dalam kondisi yang begitu tidak manusiawi.
Reportase oleh Abraham Utama dan Raja Eben
Ringkasan
Abral Wandikbo, seorang pemuda asli Papua dari Nduga, ditemukan tewas dengan kondisi mengenaskan setelah dilaporkan dibawa oleh pasukan TNI pada 22 Maret. Keluarga dan Kepala Distrik Mebarok menuduh TNI bertanggung jawab atas kematian Abral yang ditemukan dengan luka mutilasi parah, menyatakan ia adalah petani sederhana yang tidak terlibat. Sebaliknya, TNI membantah keras tuduhan tersebut, mengklaim Abral adalah anggota TPNPB yang tewas setelah melarikan diri ke jurang saat dalam pengawasan.
Keluarga Abral bersama sejumlah lembaga sipil telah mengadukan kasus ini ke Komnas HAM, LPSK, dan Pusat Polisi Militer, menuntut keadilan dan penyelidikan. Mereka menyoroti dugaan pola diskriminasi berdasarkan penampilan terhadap orang Papua yang kerap dituduh tanpa bukti jelas. Akibat insiden ini, sebagian besar warga Distrik Mebarok mengungsi, dan situasi keamanan serta pembangunan di wilayah tersebut memburuk.