Tragedi Tambang Cirebon: 21 Tewas, Longsor Berulang, Kelalaian Fatal

Pemerintah dituding tak kunjung bertindak tegas menyikapi maraknya operasi pertambangan di Gunung Kuda, Cirebon. Akibat kelalaian ini, sebuah insiden longsor tragis merenggut 21 nyawa pada akhir Mei lalu. Padahal, menurut kesaksian warga setempat, lokasi tersebut sudah lama dikenal sebagai area rawan longsor, dan aktivitas pertambangan telah berlangsung secara masif selama lebih dari dua dekade.

Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jawa Barat, Bambang Tirtoyuliono, mengeklaim bahwa pemerintah daerah sebetulnya sudah menginstruksikan penghentian sementara operasi penambangan setelah terjadi longsor tanpa korban pada awal tahun ini. “Tapi [instruksi penghentian] juga tidak diindahkan,” ujar Bambang.

Namun demikian, pernyataan pemerintah tersebut justru disayangkan oleh Manajer Advokasi dan Kampanye Walhi Jawa Barat, Siti Hannah. Ia menyoroti bahwa kawasan Gunung Kuda, yang merupakan wilayah perbukitan pasir dan batu, memang sudah dikategorikan sebagai daerah rentan longsor. “Ini memang sudah termasuk kawasan longsor, meskipun tanpa adanya aktivitas pertambangan,” kata Hannah. “Jadi kami menyoroti ini, berarti termasuk kelalaian laten,” imbuhnya.

Tragedi longsor di lokasi pertambangan galian C Gunung Kuda terjadi pada 30 Mei lalu. Pasca-peristiwa memilukan itu, dua orang ditetapkan sebagai tersangka, yakni penanggung jawab operasi dan kepala teknik tambang. Tak hanya itu, pemerintah pun mencabut izin PT Aka Azhariyah Group dan tiga izin perusahaan lain yang beroperasi di Gunung Kuda Cirebon.

Lokasi Tambang Kerap Dilanda Longsor

Suhendar, warga Desa Cikalahang yang bermukim di sekitar Gunung Kuda, memaparkan bahwa eksploitasi tambang batu alam di Gunung Kuda telah berlangsung jauh sebelum ia dewasa, sekitar lebih dari 20 tahun. “Usia saya saja sekarang sudah 40-an tahun, berarti memang sudah lama sekali aktivitas tambang beroperasi,” kata Suhendar, Selasa (02/06).

Suhendar, yang juga bekerja sebagai supir truk di lahan PT Aka Azhariyah, menceritakan bahwa longsor pada akhir Mei kemarin bukanlah kejadian pertama. “Longsornya juga sudah sering. Bulan Februari sebelumnya juga pernah longsor tapi tidak ada korban,” ungkapnya. Selain ancaman longsor, warga sekitar juga sering kali diterpa debu tebal yang mengganggu akibat aktivitas pertambangan tersebut.

Meski menuai polemik dan menyebabkan berbagai dampak negatif, Suhendar mengeklaim belum ada penolakan secara masif dari warga sekitar. “Yang penting ketika mobil truk keluar dari tambang berusaha untuk meminimalisir debunya dan ada petugas pembersihan,” ujarnya, menggambarkan dilema warga yang hidup berdampingan dengan risiko.

‘Allah Masih Kasih Kesempatan Hidup’

Taryana, seorang pengemudi truk di wilayah tambang yang longsor, tak akan pernah bisa melupakan momen mencekam yang mengancam nyawanya. Warga Saur Legok, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, ini mengaku sempat melihat pertanda longsor datang. “Waktu itu saya lihat dari bawah ada batu berjatuhan dan saya langsung masuk ke dalam mobil. Tak lama kemudian longsor menimpa mobil saya dan saya terjepit,” kenang Taryana kepada wartawan Panji Prayitno yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Material longsoran kemudian menimbun mobilnya, mengurungnya dalam ruang sempit, gelap, dan nyaris tanpa harapan. Selama sekitar 30 menit, ia terkubur hidup-hidup, tanpa tahu apakah bisa keluar dengan selamat. Dalam kondisi gelap dan terimpit, ia sempat panik berteriak minta tolong namun tak ada sahutan.

Dengan sisa tenaga, ia berhasil menghubungi rekannya melalui ponsel. “Alhamdulillah HP saya masih bisa dipakai. Saya langsung telepon teman, minta tolong. Saya bilang saya masih hidup, tolong bantuin saya, saya kejepit,” ujarnya, mengingat kembali momen krusial itu. Teman Taryana segera datang untuk membantunya keluar dari dalam truk. Proses penyelamatan tak mudah; dongkrak mobil tak berhasil digunakan. Akhirnya, mereka menggunakan pipa besi untuk mengangkat dan membengkokkan setir mobil agar Taryana bisa merangkak keluar.

“Pas setirnya dibengkokkan, baru saya bisa keluar. Alhamdulillah, saya selamat. Enggak ada luka serius, hanya tangan sedikit nyeri,” ungkapnya dengan mata berkaca-kaca, penuh syukur. Menurut Taryana, saat kejadian, ada lebih dari 20 orang di sekitar lokasi tambang batu alam Gunung Kuda, sebagian besar adalah pekerja tambang dan sopir truk. Taryana juga mengaku beberapa mobil lain ikut tertimbun longsoran Gunung Kuda Cirebon, dan ia masih berharap mobil miliknya yang terkubur bisa segera ditemukan. “Saya hanya bisa bersyukur, Allah masih kasih kesempatan hidup. Saya tidak mikir apa-apa lagi, cuma ingin selamat,” ucapnya, menyiratkan trauma mendalam.

Perintah Penghentian Operasi Sementara dan Pencabutan Izin

Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Jawa Barat, Bambang Tirtoyuliono, kembali menegaskan bahwa pemerintah daerah sudah sempat memerintahkan penghentian sementara pada awal tahun ini. Menurut Bambang, instruksi penghentian sementara ini adalah bagian dari tahapan peringatan karena aktivitas pertambangan tersebut “sangat membahayakan”.

“Karena metode penambangannya ini sangat membahayakan dan memang struktur dari batunya ini juga lepas-lepas. Sehingga dengan metode penambangannya yang salah ini berpotensi ada risiko insiden,” kata Bambang kepada BBC News Indonesia. Ia menambahkan, instruksi tersebut sayangnya “tidak diindahkan” oleh pihak perusahaan. Pascakejadian tragis yang menelan korban jiwa, Pemerintah Provinsi Jawa Barat akhirnya mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi untuk PT Aka Azhariyah Group dan tiga izin perusahaan lain yang beroperasi di Gunung Kuda.

Bambang menjelaskan bahwa aktivitas pertambangan memang sudah berjalan sejak lama, meskipun ia tak bisa menyebut waktu secara detail. Ia mengungkapkan, terbitnya perizinan pertama kali diketahui pada 2015 untuk perusahaan milik Koperasi Pondok Pesantren Al Azhariyah. Ketika ditanya mengenai kegiatan pertambangan yang diklaim warga sudah berlangsung lebih lama dari 2015, Bambang menjawab, “Itu masih ilegal mungkin ya.”

‘Bukan Soal Memperingatkan’

Manajer Advokasi dan Kampanye Walhi Jawa Barat, Siti Hannah, sangat menyayangkan pernyataan pemerintah yang terkesan hanya “memperingatkan” namun tidak mengambil tindakan tegas kepada perusahaan tambang yang terus beroperasi di wilayah rentan longsor. “Yang kami soroti adalah bukan soal memperingatkan,” kata Hannah kepada wartawan Johanes Hutabarat yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

“Mereka punya political will enggak untuk mendesak kalau ternyata ini mengancam daerah, mengancam ekologi di kawasan, atau menimbulkan kerusakan yang berdampak lebih luas selain ke masyarakat?” tambahnya, mempertanyakan komitmen pemerintah. Di sisi lain, Hannah juga menyoroti keengganan pemerintah daerah untuk bertindak tegas terhadap usaha yang izinnya dikeluarkan oleh pemerintah pusat, seperti pertambangan.

“Setiap pemerintah daerah itu kan memang selalu berkelit, selalu beralasan, mereka kehilangan kewenangan, ketika misalnya secara izin sepenuhnya diberikan ke pusat. Tapi kan sebenarnya prinsip pengawasan dan evaluasi itu ada di daerah,” kata Hannah. Ia juga menjelaskan bahwa keengganan pemerintah untuk bertindak tegas juga diakibatkan daerahnya menggantungkan pemasukan dari sektor pertambangan ini, sebuah ironi di balik tragedi kemanusiaan dan lingkungan.

Sejarah Panjang Longsor Sejak 2015 dan Kegagalan Dokumen

Menurut penelusuran Walhi Jabar, longsor di kawasan tambang galian C Gunung Kuda di Cirebon, Jawa Barat, memang sudah sering terjadi. “Di April 2015 itu pernah kejadian juga longsor, walaupun tidak ada korban jiwa,” ungkap Hannah.

Hannah menjabarkan bahwa berdasarkan kajian risiko bencana, kawasan Gunung Kuda yang merupakan wilayah perbukitan pasir dan batu merupakan zona yang sangat rentan longsor. “Ini memang sudah termasuk kawasan longsor, meskipun tanpa adanya aktivitas pertambangan,” tegas Hannah. “Jadi kami menyoroti ini, berarti termasuk kelalaian laten,” pungkasnya, mengisyaratkan bahwa risiko bencana telah diketahui jauh sebelumnya namun diabaikan.

Lebih lanjut, penelusuran Walhi Jabar juga menunjukkan adanya ketidaklengkapan dokumen operasi perusahaan. Hannah menyebut perusahaan luput melengkapi Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) yang merupakan dasar legal operasinya sebuah pertambangan. RKAB ini memuat sejumlah aspek krusial, termasuk aspek lingkungan hidup dan aspek keselamatan pertambangan. “Sejak tahun 2024, tambang ini enggak punya dokumen Rencana Kerja dan Anggaran Biaya,” kata Hannah, menyoroti celah regulasi yang membahayakan.

Fakta ini diperkuat oleh pernyataan Badan Geologi yang menyatakan bahwa lokasi tambang tersebut berada di zona kerentanan gerakan tanah yang tinggi. Kepala Badan Geologi, Muhammad Wafid, menjelaskan bahwa pergerakan tanah biasanya disebabkan curah hujan yang tinggi atau kejadian gempa bumi. Selain itu, kemiringan lereng juga turut memengaruhi pergerakan tanah, apalagi jika ditambah ada material timbunan seperti di tambang batu alam Gunung Kuda. Tragedi ini menjadi pengingat pahit akan pentingnya penegakan hukum dan mitigasi bencana di tengah aktivitas pertambangan yang merusak lingkungan.

Ringkasan

Insiden longsor tragis di area pertambangan Gunung Kuda, Cirebon, pada akhir Mei telah merenggut 21 nyawa. Kawasan yang telah dieksploitasi selama lebih dari dua dekade ini dikenal sebagai zona rawan longsor. Meskipun pemerintah daerah mengklaim telah menginstruksikan penghentian sementara setelah longsor sebelumnya, instruksi tersebut tidak diindahkan. Walhi Jawa Barat menyoroti kelalaian laten pemerintah dalam menangani aktivitas pertambangan di wilayah rentan ini.

Pasca-tragedi, dua orang ditetapkan sebagai tersangka dan izin usaha pertambangan PT Aka Azhariyah Group serta tiga perusahaan lain di Gunung Kuda dicabut. Warga setempat mengonfirmasi bahwa longsor sering terjadi di lokasi tersebut, jauh sebelum insiden fatal ini. Penelusuran Walhi juga menunjukkan bahwa perusahaan tidak memiliki dokumen Rencana Kerja dan Anggaran Biaya sejak 2024. Badan Geologi pun menyatakan lokasi tambang ini berada di zona kerentanan gerakan tanah yang tinggi.

Scroll to Top