Pulau Dijual: Dulu Ditambang, Kini Ditinggalkan, Warga Merana

Nasib Pulau-Pulau Kecil di Indonesia: Antara Kerentanan dan Ancaman Penjualan

Pulau-pulau kecil di Indonesia menyimpan kerentanan yang nyata. Setelah terancam oleh penambangan nikel, kini muncul masalah lain yang tak kalah serius: potensi penjualan pulau kepada pihak-pihak kaya.

Beberapa pulau kecil di Indonesia bahkan ditemukan terpampang di situs jual beli yang dikelola oleh perusahaan yang berbasis di Kanada, dengan status “for sale” (untuk dijual).

Situs yang memuat daftar pulau-pulau tersebut adalah Private Islands Inc. Pada Senin (23/6), beberapa pulau kecil yang ditawarkan melalui situs ini antara lain sepasang pulau di Anambas (Kepulauan Riau), Pulau Panjang (Nusa Tenggara Barat), dan Pulau Seliu (Bangka Belitung).

Namun, berdasarkan pantauan BBC News Indonesia pada Selasa (24/6), nama pulau-pulau di Anambas dan Pulau Panjang sudah ditarik dari laman Private Islands Inc.

Selain pulau, situs ini juga menawarkan lahan di Pulau Sumba (Nusa Tenggara Timur) yang diperuntukkan bagi properti dan kegiatan selancar. Lahan untuk selancar bahkan berstatus “off the market,” yang berarti sudah terjual atau tidak lagi ditawarkan.

Pemerintah Menegaskan: Pulau Tidak Bisa Dijual

Pemerintah Indonesia dengan tegas menyatakan bahwa tidak ada kepemilikan pribadi atas pulau-pulau kecil di Indonesia.

Bupati Anambas, Abdul Haris, membantah keterlibatan pemerintah daerah dalam praktik jual beli pulau ini. Ia menegaskan bahwa penjualan pulau di Anambas “tidak benar dan tidak mungkin dilakukan.”

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga menegaskan bahwa pulau-pulau di Indonesia tidak dapat diperjualbelikan karena tidak memiliki dasar hukum.

“Kami tegaskan bahwa tidak ada satu pun regulasi di Indonesia yang membolehkan penjualan pulau kecil,” ungkap Direktur Jenderal Pengelolaan Kelautan KKP, Koswara, pada Minggu (22/6).

“Yang diperbolehkan adalah terkait pemanfaatannya untuk kegiatan tertentu, hak atas tanahnya, serta investasinya. Itu pun dengan syarat-syarat ketat.”

Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Arya Sugiarto, menyatakan akan mempelajari kasus ini lebih lanjut. Namun, ia menegaskan bahwa “tidak ada pulau yang bisa dimiliki secara pribadi atau secara keseluruhan.”

“Dan pada intinya kami akan menginventarisir [mencatat] hal-hal atau wilayah-wilayah yang memang harus tetap kita jaga. Baik dari sisi regulasinya dan juga kepemilikannya,” tambahnya.

Warga di pulau-pulau kecil yang dihubungi oleh BBC News Indonesia menganggap kabar penjualan pulau ini sebagai “hal yang menyedihkan.”

Masalah jual beli pulau-pulau kecil di Indonesia bukanlah isu baru dan telah mencuat beberapa tahun lalu, namun belum terselesaikan.

Salah satu akar masalahnya, menurut peneliti dari Institut Pertanian Bogor (IPB), adalah cara pandang pemerintah yang menempatkan pulau-pulau kecil sebagai “aset.”

‘Ruang Gerak Kami Makin Sempit’

Bambang Zakaria, warga Kepulauan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, mengaku kaget mendengar kabar tentang penjualan pulau-pulau kecil di Sumatra dan Nusa Tenggara yang terafiliasi dengan konglomerat luar negeri.

“Kami, sebagai warga pulau kecil, merasa sangat terancam. Apalagi kemarin ramai isu tambang, sekarang giliran jual beli pulau,” kata pria kelahiran 1968 ini.

“Kalau dibiarkan, kami, lama-lama, pasti terusir dari pulau yang kami tinggali. Peradaban kami juga berpeluang lenyap akibat pembangunan,” tambahnya.

Bambang menyaksikan langsung bagaimana pembangunan telah memojokkan masyarakat di pulau-pulau kecil.

Awalnya, para pendahulu Bambang di Karimunjawa bertani kelapa. Namun, ketika harga kelapa turun pada dekade 1980-an, mereka beralih menjadi nelayan.

Lahan-lahan kelapa yang tak terurus kemudian menjadi sasaran pembangunan, memaksa warga menyerahkan tanah mereka. Bambang menuding pemerintah dan pengusaha bekerja sama untuk mengamankan kepentingan investasi mereka.

Kini, Karimunjawa telah berubah drastis. Bambang memperkirakan bahwa “hanya tinggal 20% kawasan pantai yang dihuni orang lokal.”

“Sisanya milik pengusaha, pebisnis, yang membeli tanah di sini dan membangun vila atau resor,” tuturnya.

Perubahan ini tidak benar-benar melibatkan warga pulau-pulau di sekitar Karimunjawa.

Warga hanya dilibatkan sebagai pekerja informal dengan upah seadanya. Arah pembangunan pariwisata di Karimunjawa ditentukan oleh para pemodal dan pemerintah.

“Sementara ruang gerak kami semakin terbatas. Di laut, kami tidak bisa leluasa menangkap ikan karena pembangunan ada di mana-mana, begitu pula di darat,” aku Bambang.

Bambang menarik napas sejenak.

“Kami dibiarkan bertahan sendirian.”

Nasib Serupa di Pulau Pari

Berjarak sekitar 428 km ke arah barat, nasib serupa dialami Asmania, warga Pulau Pari yang masuk wilayah DKI Jakarta.

Gelombang pembangunan di Pulau Pari tak terhentikan dengan pendirian vila dan resor yang menunjang pariwisata. Beberapa di antaranya bahkan terindikasi melakukan pengerukan dan penimbunan laut, serta membangun tanpa izin.

Dampaknya, menurut Asmania, “ekosistem rusak, seperti rumput laut atau kawasan mangrove.”

Pembangunan di pulau-pulau kecil disebut Asmania “tidak berpihak kepada masyarakat.” Ia menambahkan bahwa perusahaan-perusahaan bebas mencaplok dan memiliki pulau-pulau kecil di mana saja.

“Tidak ada yang sejahtera dengan kehadiran korporasi,” tegasnya.

Warga seperti Asmania dan Bambang berharap pemerintah tidak menutup mata atas kenyataan pahit yang dialami masyarakat, di mana pembangunan justru menjauhkan pemenuhan hak hidup yang manusiawi.

Realita di pulau-pulau kecil di Indonesia kerap kali berujung pada kecemasan.

Setelah penambangan, kini muncul ancaman penjualan pulau.

Keduanya sama-sama merugikan, terutama bagi mereka yang telah mendiami pulau-pulau itu selama beberapa generasi.

“Rasanya sangat sedih jika mendengar kabar kalau pulau kecil mau ditambang, pulau kecil mau dijual,” tutur Asmania.

“Apakah pulau kecil dan kami ini, yang tinggal maupun merawat, sama sekali tidak dianggap?”

‘Apa yang Lebih Baik dari Pulau yang Masih Asli?’

Di situs Private Islands Inc., dua pulau kecil di Anambas dijual dengan iming-iming “pulau tropis yang indah” dan “masih asli.”

Dengan lokasi yang diklaim “fantastis” karena hanya “200 mil dari Singapura,” sepasang pulau di Anambas ini “cocok untuk sebuah resor ramah lingkungan yang indah,” tulis Private Islands Inc.

Private Islands Inc. juga menyertakan keterangan lain seperti belum adanya pembangunan dan luas lahan 159 hektare.

Harga pulau ini tidak dicantumkan secara spesifik, melainkan “upon request” (berdasarkan permintaan calon pembeli).

Hal serupa juga terjadi pada penjualan Pulau Panjang, di mana harga dicantumkan “upon request.” Luas Pulau Panjang yang ditawarkan mencapai 33 hektare.

Materi promosi untuk Pulau Panjang dikemas dengan singkat.

“Pulau ini, sekarang, belum dikembangkan dan masih alami,” tulis Private Islands Inc. “Bandara internasional terdekat hanya berjarak dua jam perjalanan, satu jam menggunakan mobil, dan satu jam memakai kapal.”

Dari pulau-pulau kecil Indonesia yang dijual, hanya Pulau Seliu yang harganya diketahui, yaitu lebih dari Rp2 miliar.

Private Islands Inc. mengklaim Pulau Seliu “menawarkan tempat peristirahatan yang tenang di tengah-tengah keindahan alam yang menakjubkan serta peluang pengembangan yang strategis.”

Pulau Seliu juga disebut “diberkati dengan lingkungan yang masih asli dan terlindung dari bencana alam seperti tsunami dan gempa bumi,” serta “menyajikan prospek yang menarik bagi mereka yang mencari gaya hidup yang harmonis dan selaras bersama alam.”

Chris Krolow: Sosok di Balik Private Islands Inc.

Orang di balik Private Islands Inc. adalah Chris Krolow, pengusaha asal Toronto, Kanada. Chris telah tertarik dengan pulau-pulau sejak remaja, saat menjadi pemandu wisata di Kanada.

Saat itu, wisatawan Eropa rela membayar hingga US$5.000 untuk berlibur ke pulau-pulau di Kanada, sementara penyedia jasa hanya membayar sewa pulau tak lebih dari US$100.

Chris melihat peluang untuk mendapatkan keuntungan.

Setelah berhenti dari pekerjaannya, Chris membangun usahanya sendiri dengan ide menawarkan pengalaman menikmati keindahan pulau secara privat kepada kelompok ekonomi atas.

Chris kemudian mendata pulau-pulau kecil yang berpotensi, memasukkannya ke internet, dan menjualnya. Dua dekade kemudian, Chris menjadi pemain menonjol di industri perdagangan pulau.

Situs Private Islands Inc. miliknya ramai dikunjungi para pelancong berduit dan menawarkan 657 pulau yang dijual serta lebih dari 750 lainnya yang disewakan. Chris juga membuat reality show berjudul “Island Hunters” yang bertahan selama empat musim.

Sebagai pemandu acara, Chris berinteraksi dengan calon pembeli pulau di berbagai lokasi di seluruh dunia, hingga mencapai kesepakatan.

Chris melihat internet berkontribusi signifikan dalam perkembangan bisnisnya karena dapat menekan biaya operasional dan memperluas jangkauan ke calon pembeli.

Setiap minggu, Chris mengaku berbicara dengan setengah lusin pemilik pulau yang berbeda dan menemukan pulau-pulau yang belum terdaftar secara resmi.

Menurut Chris, menemukan pulau bukanlah masalah, melainkan “mendapatkan pembeli adalah tantangannya.” Pembeli pulau biasanya adalah orang-orang kaya yang tidak tertarik dengan “pulau yang sudah siap pakai,” melainkan pulau yang masih alami.

Pulau yang telah berisi bangunan atau fasilitas wisata justru paling sulit dijual.

Chris menjelaskan bahwa pulau sering kali menjadi rumah kedua atau ketiga bagi para pengusaha. Beberapa kliennya bahkan sangat kaya atau selebriti, meskipun umumnya mereka lebih memilih menyewa.

Transaksi jual beli pulau dilakukan dengan nominal yang besar, biasanya berkisar antara US$50 hingga US$200 juta. Penjualan terbesar yang pernah direalisasikan Chris mencapai US$130 juta.

Chris memandang bahwa pulau-pulau kecil dan terpencil kini telah layak huni.

Minat terhadap kepemilikan pulau-pulau kecil melonjak saat pandemi Covid-19, ketika orang-orang mencari tempat yang aman, “seperti halnya mereka menginginkan bungker perlindungan dari bom,” ujar Chris.

Setelah pandemi, ketertarikan masyarakat atas pulau-pulau kecil tidak luntur, didorong oleh keinginan untuk menjauh dari keramaian kota-kota besar. Sebuah pulau, menurut Chris, “adalah versi ekstremnya.”

Jual Beli Pulau Kecil: Isu yang Berulang

Isu perdagangan pulau di Indonesia bukanlah masalah baru dan terus berulang.

Pada 2006, beberapa pulau di Kabupaten Manggarai Barat dan Sumba Timur diduga dijual kepada warga asing.

Setahun kemudian, masalah serupa menyeret Pulau Bawah di perairan selatan Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau. Pemerintah menemukan indikasi jual beli atas beberapa pulau di daerah tersebut.

Bupati Natuna kala itu, Daeng Rusnadi, menegaskan bahwa gugusan pulau yang dimaksud tidak dijual kepada asing, melainkan hanya dikelola oleh warga negara Amerika Serikat dengan membayar ‘modal’ sebesar Rp1 miliar kepada pemerintah.

Pengelolaan pulau ini bertujuan untuk mengantisipasi kegiatan ilegal, dan pemerintah juga akan berpartisipasi dengan membangun fasilitas seperti helipad, pelabuhan, hingga jalan lingkar.

Pada 2009, masalah penjualan pulau kembali mencuat dengan Pulau Tatawa, Nusa Tenggara Timur, sebagai subjeknya. Pejabat di Badan Pertanahan Nasional (BPN) diduga terlibat dalam proses jual beli ini dengan mengeluarkan sertifikat atas nama warga yang tidak bermukim di wilayah itu.

Masih pada tahun yang sama, giliran pulau di Mentawai yang dikabarkan masuk situs lelang, namun pemerintah pusat menepis informasi ini.

Pada 2021, warga melaporkan praktik penjualan Pulau Lantigiang di Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan, dengan harga jual mencapai Rp900 juta.

BBC News Indonesia juga menemukan bahwa jual beli pulau dengan Private Islands Inc. sebagai perantara bukan pertama kali terjadi.

Pada 2021, pulau yang berlokasi di Lombok Barat dan Kepulauan Riau terpampang di website Private Islands Inc. dengan status “dijual.” Pemerintah Provinsi NTB menyatakan bahwa “informasi dan situs tersebut tidak jelas,” sementara pemerintah di Kepulauan Riau mengungkapkan bahwa “isu jual beli pulau tidak benar.” Pulau-pulau yang masuk radar Private Islands Inc. saat itu berada di area Anambas, mirip dengan yang terjadi saat ini.

Indikasi jual beli pulau di Kepulauan Riau berlanjut dengan kasus Pulau Tambelan, Kabupaten Bintan, yang ditawarkan melalui Instagram seharga Rp1,4 triliun.

Gubernur Kepulauan Riau, Ansar Ahmad, telah meminta aparat penegak hukum untuk menelusuri penjualan tersebut dan menyatakan bahwa pulau di wilayahnya tidak akan bisa dilelang oleh siapapun.

Pada 2022, pulau-pulau di kawasan Kepulauan Widi, Maluku Utara, diberitakan tercatut di situs pelelangan di luar negeri. Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, menampik bahwa pulau-pulau itu dijual dan menjelaskan bahwa keberadaan pulau-pulau di Kepulauan Widi di laman jual beli merupakan upaya pengelola yang ditunjuk pemerintah, PT Leadership Islands Indonesia, dalam rangka mencari investasi.

Pada 2023, isu penjualan pulau menyasar Pulau Poto yang berada di area Kepulauan Riau. Pemerintah Kabupaten Bintan segera mengklarifikasi kabar ini dan menegaskan bahwa jual beli tersebut tidak terjadi.

Regulasi dan Implementasi yang Belum Selaras

Perlindungan kepada pulau-pulau kecil beserta kawasan pesisir diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014, yang merupakan perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2007. Pulau-pulau kecil dan pesisir ditempatkan sebagai pilar penyangga dan penjaga ekosistem.

Pulau kecil didefinisikan sebagai pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km².

Dengan kata lain, segala kegiatan yang dilakukan di pulau-pulau kecil, pertama dan utama, difungsikan untuk konservasi.

Meskipun begitu, peluang pengelolaan di pulau-pulau kecil tetap dibuka, meskipun sangat dibatasi. Aturan yang dikeluarkan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional pada 2016 menjelaskan bahwa penguasaan atas pulau-pulau kecil oleh swasta paling banyak 70% dari luas pulau.

Sisanya, 30%, dikuasai langsung oleh negara dan “digunakan serta dimanfaatkan untuk kawasan lindung, area publik, atau kepentingan masyarakat,” demikian tulis Pasal 9 ayat (2b).

Aturan lainnya yang dipublikasikan Kementerian Kelautan dan Perikanan mengungkapkan bahwa pelaku usaha swasta yang diberi hak pengelolaan diharuskan mengalokasikan “paling sedikit 30% dari luasan lahan yang dimanfaatkan untuk ruang terbuka hijau (RTH).”

Jangka waktu pengelolaan pulau-pulau kecil diberikan selama 30 tahun serta dapat diperbarui sebanyak satu kali (untuk 30 tahun ke depan) dengan mempertimbangkan hasil penilaian teknis.

Secara hitam di atas putih, tidak ditemukan poin yang mempersilakan pulau untuk diperjualbelikan.

Namun, implementasi di lapangan kerap kali menerabas aturan yang sudah disusun.

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati, menuturkan bahwa isu jual beli pulau tidak lahir dalam satu malam.

“Pada 2018, kami sudah teriak-teriak soal privatisasi pulau. Catatan KIARA, tahun itu, ada 110 pulau yang sudah bukan milik kita lagi. Artinya, sudah dimiliki perorangan atau perusahaan, termasuk pertambangan,” ungkapnya.

Sekitar lima tahun setelah data itu dirilis, pada 2023, angka pulau-pulau kecil yang dikuasai melonjak menjadi 226.

Susan menganalisa bahwa faktor mendasarnya adalah paradigma pemerintah.

Sebagai pembuat kebijakan, pemerintah menganggap bahwa pulau-pulau kecil, baik yang berpenghuni atau tidak, harus diberdayakan melalui serangkaian penerbitan izin usaha maupun penanaman modal.

“Jadi, penjualan pulau ini, apalagi yang dipandang kosong, dipicu asumsi bahwa pulau-pulau itu bisa menghasilkan pendapatan melalui pajak, misalnya. Pemerintah tidak bisa melihat sebuah pulau itu kosong. Selalu ingin jual saja bawaannya. Itu yang jadi masalah,” kata Susan.

Peneliti Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan (PKSPL) Institut Pertanian Bogor, Yoppie Christian, menambahkan bahwa pengelolaan atas pulau-pulau kecil dilihat melalui dua sudut pandang terhadap nilai dalam suatu aset: tukar dan guna.

Dalam konteks “nilai guna,” pulau-pulau kecil dimanfaatkan untuk menunjang ekosistem sampai melindungi dari abrasi.

“Nah, pemerintah lalu melihat daripada tidak diapa-apakan, tidak menghasilkan apa-apa, pulau-pulau kecil itu disewakan, dijual, dikelola dengan swasta sehingga sebagai aset, mereka bisa punya nilai tukar,” papar Yoppie.

Dari sini, kebijakan yang dikeluarkan pada akhirnya menjustifikasi cara pandang itu.

Ketentuan pembagian porsi 70% dan 30% yang ditetapkan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR-BPN), sebagai contoh, dinilai tidak seimbang oleh Susan karena “70% untuk swasta itu bukan angka sedikit.”

“Kalau satu pulau, katakanlah, 70% dimiliki [pihak] privat, otomatis nyaris 70% itu [membuat] nelayan tidak bisa singgah di sekitar area itu,” imbuhnya.

“Sudah pasti mereka akan diusir.”

Yoppie menyatakan bahwa eksistensi pulau-pulau kecil dipengaruhi oleh lanskap yang sempit dengan daya dukung masing-masing pulau yang tidak sama. Pemberian jatah 70-30 menunjukkan bahwa ketentuan tersebut “masih mengikuti logika pengelolaan tanah di kota [darat].”

Hitung-hitungan untung dan rugi menempatkan nelayan serta ekosistem lingkungan di pulau-pulau kecil sebagai pihak yang paling terdampak. Bagi nelayan, ruang gerak mereka dalam menangkap ikan kian terjepit, sementara pembangunan yang timbul berkat penguasaan terhadap tanah di pulau-pulau kecil membikin aspek ekosistem menjadi terancam.

Riset berjudul “Ekonomi Politik Konflik Agraria Pulau Kecil” (2018) yang disusun Yoppie beserta dua koleganya, Arif Satria dan Setyawan Sunito, menerangkan bahwa pulau-pulau kecil mempunyai karakter yang berbeda dengan wilayah lain berupa “keterpisahan” (insularitas) dari daratan utama.

Dari sisi biodiversitas, “keterpisahan” memengaruhi sumber daya hayati di pulau-pulau kecil menjadi bernilai lebih tinggi. Sementara dari aspek sosial, “keterpisahan” merupakan kerentanan berskala besar.

“Ketika kerentanan ini bertemu dengan kuasa dan orientasi yang memandang kekayaan hayati sebagai komoditas, maka kekayaan ekologis tersebut bisa jadi akan menghadapi tekanan,” tulis penelitian itu.

Pembangunan yang dominan mengarah ke profit, lanjut riset Yoppie, hanya kian meletakkan pulau-pulau kecil dalam periferi perluasan “pertumbuhan kota yang memiliki tingkat risiko yang tinggi.”

Yoppie berpandangan bahwa eksploitasi pulau-pulau kecil, mulai dari penambangan nikel hingga dinamika jual beli, merupakan bagian dari agenda pembangunan pemerintah dan kepentingan kapital yang telah solid bersekutu pasca-1998.

“Sebelumnya kita melihat bagaimana hutan hujan tropis dikeruk habis-habisan, lalu diteruskan ke hutan-hutan di dataran rendah yang mayoritas untuk keperluan [perkebunan] sawit. Makin ke sini, trennya berubah lagi ke pesisir,” jelasnya.

“Kini, kita melihat pulau-pulau kecil jadi sasaran tembak karena secara potensial begitu tinggi.”

Situasi bertambah rumyam tatkala, menurut Yoppie, “pemerintah tidak pernah menjalankan regulasi secara konsekuen,” padahal, secara garis besar, pulau kecil adalah ruang khas yang membutuhkan perlindungan.

Susan mencontohkan kondisi di sekitar Kepulauan Seribu yang, menurut pengamatannya, “sudah diprivatisasi dan rata-rata itu adalah hasil reklamasi.”

“Jadi mereka ambil pasir, karang, dari sekitar pulau. Kemudian mereka membuat daratan baru. Terus kemudian, apakah negara pernah mengawasi resor-resor nakal ini? Tidak pernah sama sekali. Itu masalah sebenarnya,” ucap Susan.

Kebijakan pembangunan secara masif, beserta efek buruk yang mengiringinya, diprediksi Yoppie bakal berlanjut pada tahun-tahun mendatang, sekaligus menjadi wajah keberpihakan pemerintah yang pro-pengusaha.

Dalam taraf tertentu, ketika semua saluran sudah dijajaki dan tidak ada lagi hasil yang memuaskan, pemerintah, menurut Yoppie, akan mengurai pintu-pintu lain yang bahkan tujuan utamanya bukan untuk merusak, melainkan melestarikan.

Yoppie menyebutnya sebagai “green grabbing,” metode atau pola perampasan ruang hidup dengan topeng segala hal yang ‘hijau’, seperti energi terbarukan serta mitigasi krisis iklim.

Pemerintah, dalam hubungannya dengan masalah jual beli ini, mengaku akan melindungi posisi pulau-pulau kecil karena kehadiran mereka beririsan erat dengan kedaulatan negara.

Menteri ATR-BPN, Nusron Wahid, menegaskan bahwa “satu pulau tidak mungkin dapat dijual ke satu orang.”

“Apalagi kalau statusnya hak guna bangunan (HGB), tidak bisa dimiliki sama pihak asing, baik badan hukum maupun perorangan,” ujar Nusron.

Susan menyebut investasi yang mengeruk habis sumber daya di pulau-pulau kecil tidak sebatas mengikis kandungan di daerah tersebut, melainkan juga “harga diri kita sebagai negara kepulauan.”

“Masak negara kepulauan jual pulau?” pungkasnya.

Ringkasan

Pulau-pulau kecil di Indonesia menghadapi ancaman penjualan kepada pihak swasta atau kaya, bahkan ada yang terdaftar di situs jual beli internasional seperti Private Islands Inc. Pemerintah Indonesia, melalui berbagai kementerian dan pejabat daerah, dengan tegas membantah kemungkinan penjualan pulau dan menyatakan bahwa tidak ada regulasi yang mengizinkan kepemilikan pribadi atas pulau-pulau kecil, melainkan hanya pemanfaatan dengan syarat ketat.

Warga di pulau-pulau terdampak, seperti Karimunjawa dan Pulau Pari, merasa sangat terancam dan terpinggirkan oleh pembangunan yang didominasi investor, yang membatasi akses mereka terhadap sumber daya dan mengubah lingkungan. Isu penjualan pulau ini bukan hal baru dan diyakini berakar pada pandangan pemerintah yang menempatkan pulau sebagai “aset” ekonomi, di mana implementasi regulasi seringkali belum selaras dengan perlindungan ekosistem dan masyarakat lokal.

Scroll to Top