Pemerintah Indonesia secara tegas mencabut izin usaha pertambangan (IUP) empat perusahaan nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya, pada Selasa (10/06). Keputusan penting ini diambil hanya sepekan setelah aksi berani sekelompok anak muda Raja Ampat dan aktivis Greenpeace menggemakan seruan ‘SaveRajaAmpat’ dari ancaman tambang nikel. Aksi tersebut, yang dilakukan saat konferensi nikel internasional di Jakarta, berhasil menarik perhatian publik luas.
Video aksi penolakan tambang yang diunggah di akun Instagram Greenpeace menjadi viral. Tayangan tersebut ditonton hingga 18,8 juta kali dan disukai lebih dari setengah juta akun, menunjukkan besarnya dukungan masyarakat terhadap upaya pelestarian lingkungan Raja Ampat.
Greenpeace sendiri telah mengungkapkan bahwa aktivitas pertambangan nikel di pulau-pulau kecil Raja Ampat telah menyebabkan deforestasi seluas 500 hektare, serta menimbulkan pencemaran lingkungan yang signifikan.
Salah satu individu pemberani yang terlibat dalam aksi tersebut adalah Paulina, seorang perempuan berusia 24 tahun dari Kampung Kabare. Kampungnya berdekatan dengan Pulau Manuran, Raja Ampat, yang menjadi lokasi operasi tambang nikel. Ia sempat ditangkap dan kemudian dibebaskan.
Sehari setelah penangkapan, Paulina berbagi kisah kepada wartawan BBC News Indonesia, Raja Eben Lumbanrau, mengenai dampak merusak pertambangan nikel terhadap hutan, laut, dan keharmonisan masyarakat di Raja Ampat, yang ia sebut sebagai ‘surga terakhir di Bumi’.
‘Biarpun ditangkap, saya tetap berjuang’
Tak ada raut kelelahan yang terlihat di wajah Paulina saat ditemui di Jakarta, Rabu (04/06). Ia memancarkan semangat yang kuat ketika membicarakan rangkaian permasalahan serius yang ditimbulkan oleh pertambangan nikel di “surganya” Raja Ampat.
Dengan nada pilu, Paulina mengatakan, “Hutan kami hilang, laut kami rusak, dan masyarakat kami kini saling bermusuhan.” Ungkapan ini menggambarkan betapa parahnya dampak yang dirasakan oleh warga lokal.
Padahal, sehari sebelumnya, Paulina bersama tiga pemuda Papua dan beberapa aktivis dari Greenpeace telah melakukan aksi penolakan di acara Indonesia Critical Minerals Conference 2025 di Jakarta, Selasa (03/06). Aksi ini menjadi sorotan utama dalam perjuangan mereka.
Dalam aksi tersebut, Paulina berani membentangkan spanduk berwarna kuning bertuliskan ‘Save Raja Ampat from Nickel Mining’. Ia melakukannya tepat saat Wakil Menteri Luar Negeri, Arief Havas Oegroseno, berpidato di hadapan para pengusaha tambang dunia.
Sesaat kemudian, Paulina dibawa oleh seorang petugas ke ruang panitia. Terlihat dalam rekaman, tangan petugas itu mengapit Paulina. Paulina dan tiga rekannya, termasuk aktivis Greenpeace Iqbal Damanik, kemudian dibawa ke kantor polisi untuk menjalani pemeriksaan selama berjam-jam sebelum akhirnya dilepaskan karena tidak terbukti melakukan tindakan pidana.
Paulina menyatakan dirinya tidak trauma dengan pengalaman penangkapan tersebut. Sebaliknya, ia menegaskan akan terus memperjuangkan “surganya” agar selamat dari tambang nikel.
“Biarpun ditangkap, saya tetap berjuang. Raja Ampat itu adalah surga terakhir Indonesia dan dunia. Mereka yang menerima tambang nikel di Raja Ampat adalah orang-orang serakah, tidak memikirkan masa depan anak cucu, tidak memikirkan dampak kerusakan ke depan,” katanya sambil menahan tangis.
Sempat terdiam sesaat, Paulina kemudian menjelaskan bahwa tangisnya muncul karena melihat “Raja Ampat yang kini telah berubah dari kota bahari menjadi bahari tambang. Tambang mengancam kehidupan kami.”
Paulina juga bercerita, Pulau Manuran yang terletak dekat dengan kampungnya Kabare kini sebagian telah gundul akibat tambang nikel. Tidak hanya itu, terumbu karang dan ikan yang berada di sekitar pulau pun ikut tercemar limbah dari aktivitas pertambangan.
“Di musim pasang surut, limbah tambang berwarna coklat mengalir dan mencemari hingga ke kampung saya,” ujarnya. Padahal, di masa lalu, Pulau Manuran menjadi tempat penting bagi warga kampungnya untuk mencari ikan dan hasil hutan.
Perusahaan yang beroperasi di pulau seluas 751 hektare itu adalah PT Anugerah Surya Pratama (ASP), yang izin usaha pertambangannya (IUP) seluas satu setengah kali pulau telah dicabut oleh pemerintah.
“Atas petunjuk Bapak Presiden, beliau memutuskan bahwa pemerintah akan mencabut izin usaha pertambangan untuk empat perusahaan [termasuk PT Anugerah Surya Pratama] di Kabupaten Raja Ampat,” kata Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, Senin (09/06).
Hasil analisis Greenpeace menunjukkan bahwa tingkat deforestasi akibat penambangan pada 2006-2008 di Pulau Manuran, yang masuk dalam wilayah UNESCO Global Geopark, mencapai 156 hektare. Selain itu, Greenpeace juga menemukan adanya gumpalan kekeruhan di laut sekitar Manuran setelah hujan, melalui analisis citra satelit dari tahun 2024, mengindikasikan limpasan limbah.
Temuan Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK) juga mengkonfirmasi adanya luas bukaan tambang sebesar 109,23 hektare dan pencemaran lingkungan di Manuran. “Ini memang menimbulkan pencemaran lingkungan, kekeruhan pantai yang cukup tinggi, dan ini tentu ada konsekuensi yang harus ditanggungjawabi oleh perusahaan tersebut,” kata Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq di Jakarta, Minggu (08/06).
Hanif menjelaskan, kekeruhan itu disebabkan oleh jebolnya salah satu instalasi pertambangan nikel, yaitu settling pond atau kolam pengendapan partikel padatan air limbah sebelum dibuang ke lingkungan. “Tentu kita bisa membayangkan kalau ini dilakukan eksploitasi, pemulihannya tidaklah terlalu gampang karena tidak ada lagi bahan untuk memulihkan,” ujar Hanif.
Kementerian Lingkungan Hidup kini telah menyegel aktivitas penambangan di Pulau Manuran dan akan melakukan gugatan hukum pidana serta perdata terhadap perusahaan. “Pencemaran dan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan, akan tentu dilakukan penegakan hukum, baik hukum pidana maupun gugatan perdata, karena kondisi lingkungannya sudah kami rekam seperti itu, sehingga kepada yang bersangkutan, harus mempertanggungjawabkan kegiatannya,” kata Hanif.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), PT ASP mengantongi IUP Operasi Produksi berdasarkan SK Menteri ESDM yang diterbitkan pada 7 Januari 2024 dan berlaku hingga 7 Januari 2034. Wilayah IUP perusahaan ini mencapai 1.173 hektare di Pulau Manuran.
‘Dulu baku jaga, baku sayang, sekarang saling bermusuhan’
Selain merusak lingkungan, pertambangan nikel juga disebut-sebut telah menciptakan konflik di tengah masyarakat. Hal ini diungkapkan oleh Matias Mambraku, 26 tahun, warga asli Pulau Manyaifun yang berprofesi sebagai pemandu wisata sejak 2017.
Matias berkata, sebelum ada tambang nikel, masyarakat kampung hidup dalam keharmonisan. “Kami baku jaga, baku sayang. Tapi sekarang, tambang buat kita orang semua saling bermusuhan, tidak baku tegur, bahkan sampai baku pukul,” katanya, yang menyebutkan dalam setahun terakhir sudah terjadi setidaknya tiga kali konflik di masyarakat.
Ia menuturkan, tambang nikel telah memecah belah masyarakat: ada kelompok yang menerima dan ada pula yang menolak. Matias menjelaskan, dirinya dan sekelompok masyarakat menolak tambang nikel karena aktivitas tersebut merusak lingkungan, ruang hidup, sumber makanan, dan mengusir mereka dari kampung halaman.
Di sisi lain, tambahnya, kelompok lain menerima tambang karena dijanjikan lapangan kerja dan “uang-uang besar” seperti uang adat serta uang masyarakat. Daripada pertambangan, Matias berharap agar pemerintah mengembangkan sektor pariwisata di Raja Ampat dengan pendekatan kearifan lokal.
“Pariwisata yang ramah lingkungan akan melindungi laut dan daratan. Raja Ampat itu surga yang jatuh ke bumi, kebanggaan Indonesia dan dunia. Kita harus melindungi, bukan malah merusak.”
Temuan Greenpeace menunjukkan bahwa Kepulauan Manyaifun dan Batang Pele masuk dalam wilayah IUP milik PT Mulia Raymond Perkasa (MRP), yang izinnya juga telah dicabut oleh pemerintah. Data Kementerian ESDM menunjukkan, PT MRP memegang IUP dari SK Bupati Raja Ampat hingga Februari 2033 dengan luas konsesi mencapai 2.193 hektare, jauh lebih besar dari luas kedua pulau yang hanya 1.373 hektare.
Kementerian ESDM menjabarkan bahwa kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan saat ini adalah tahap eksplorasi (pengeboran) dan belum memiliki dokumen lingkungan maupun persetujuan lingkungan.
‘Deforestasi hingga 500 hektare’
Pengamatan Greenpeace Indonesia mengindikasikan bahwa eksploitasi nikel di Raja Ampat telah membabat lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi alami. Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik, mengatakan bahwa deforestasi lahan terbesar, yaitu 309 hektare, berlangsung di Pulau Gag, sementara sisanya terjadi di Pulau Kawe dan Manuran.
Meskipun terbilang kecil dibandingkan bukaan lahan sawit, kata Iqbal, dampak deforestasi ini sangat besar bagi penduduk yang tinggal di pulau-pulau kecil. Selain itu, limpasan lumpur dari pembukaan lahan juga disebut mencemari wilayah pesisir yang kaya akan terumbu karang.
“Di Pulau Gag sendiri kami melihat banyak terumbu karang sudah mati atau terganggu. Yang paling terlihat kasat mata adalah pembukaan lahan, deforestasi, dan limpasan lumpur ke wilayah pesisir,” kata Iqbal.
Greenpeace menemukan terdapat lima izin penambangan nikel yang aktif di Raja Ampat, yang kemudian empat di antaranya telah dicabut oleh pemerintah. Perusahaan-perusahaan tersebut adalah PT Anugerah Surya Pratama di Pulau Manuran, PT Nurham di Pulau Waigeo, PT Mulia Raymond Perkasa di Kepulauan Manyaifun dan Batang Pele, PT Kawei Sejahtera Mining di Pulau Kawe, serta PT Gag Nikel di Pulau Gag.
Selain izin kelima perusahaan tersebut, Greenpeace juga menemukan adanya izin-izin lain yang telah diterbitkan untuk perusahaan-perusahaan di Raja Ampat selama hampir 20 tahun. Izin-izin ini mayoritas berlokasi di Pulau Waigeo, dengan satu izin di Kepulauan Fam, tempat bukit-bukit indah Pianemo berdiri.
Iqbal menegaskan, temuan ini membuktikan besarnya ancaman terhadap ekosistem Raja Ampat, yang akan merugikan masyarakat yang tinggal di sana. “Kehancuran ekosistem itu mulai dari ancaman deforestasi, kerusakan terumbu karang, dan gangguan terhadap habitat serta spesies kunci di Raja Ampat, baik di wilayah darat maupun di laut,” ujarnya.
Raja Ampat merupakan kawasan yang sangat istimewa. Lautannya adalah pusat dari segitiga karang dunia, dengan lebih dari 553 spesies karang (75% dari seluruh spesies dunia), 1.070 spesies ikan karang, dan 699 jenis moluska. Di darat, terdapat 874 spesies tumbuhan (sembilan di antaranya endemik), 114 spesies herpetofauna (lima endemik), 47 spesies mamalia (satu endemik), dan 274 spesies burung (enam endemik).
Pemerintah cabut empat izin perusahaan
Sepekan setelah kampanye SaveRajaAmpat menggema di media sosial, pemerintah akhirnya memutuskan untuk mencabut empat izin usaha tambang di Raja Ampat. “Bapak Presiden memutuskan, memperhatikan semua yang ada, mempertimbangkan secara komprehensif, dan Bapak Presiden memutuskan bahwa empat IUP yang di luar Pulau Gag itu dicabut. Jadi mulai terhitung hari ini, pemerintah telah mencabut empat IUP di Raja Ampat,” ujar Menteri ESDM Bahlil Lahadalia saat jumpa pers di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (10/06).
Empat perusahaan yang dicabut izinnya adalah PT Anugerah Surya Pratama, PT Nurham, PT Mulia Raymond Perkasa, dan PT Kawei Sejahtera Mining. Sementara itu, PT Gag Nikel masih diizinkan beroperasi.
Bahlil mengungkapkan, pencabutan izin itu diambil karena pemerintah menemukan adanya pelanggaran. “Alasan pencabutan tadi sudah disampaikan bahwa pertama secara lingkungan, atas apa yang disampaikan Menteri LH kepada kami, itu melanggar. Kedua, kita juga turut mengecek di lapangan, kawasan-kawasan ini menurut kami harus kita lindungi, dengan tetap memperhatikan biota laut, dan juga alat konservasi,” jelas Bahlil.
Bahlil menambahkan, dari sisi lingkungan, IUP milik keempat perusahaan itu juga sebagian masuk ke kawasan UNESCO Global Geopark. Oleh karena itu, pihaknya mencabut IUP keempat perusahaan tersebut.
Berikut adalah informasi lebih lanjut mengenai izin yang dimiliki oleh kelima perusahaan tersebut:
PT Gag Nikel
Perusahaan ini memegang Kontrak Karya (KK) Generasi VII dengan luas wilayah 13.136 hektare di Pulau Gag. Perusahaan telah memasuki tahap Operasi Produksi yang berlaku hingga 30 November 2047. PT Gag Nikel telah memiliki dokumen AMDAL, IPPKH (Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan), dan Penataan Areal Kerja (PAK). Hingga 2025, total bukaan tambang mencapai 187,87 hektare, dengan 135,45 hektare telah direklamasi. PT Gag Nikel belum melakukan pembuangan air limbah karena masih menunggu penerbitan Sertifikat Laik Operasi (SLO).
PT Anugerah Surya Pratama (ASP)
Perusahaan ini mengantongi IUP Operasi Produksi yang diterbitkan 7 Januari 2024 dan berlaku hingga 7 Januari 2034. Wilayahnya memiliki luas 1.173 hektare di Pulau Manuran. Untuk aspek lingkungan, PT ASP telah memiliki dokumen AMDAL pada 2006 dan UKL-UPL di tahun yang sama dari Bupati Raja Ampat.
PT Mulia Raymond Perkasa (MRP)
Perusahaan ini memegang IUP dari SK Bupati Raja Ampat pada 2013 yang berlaku hingga 26 Februari 2033 dan mencakup wilayah 2.193 hektare di Pulau Batang Pele. Kegiatan masih dalam tahap eksplorasi (pengeboran) dan belum memiliki dokumen lingkungan maupun persetujuan lingkungan.
PT Kawei Sejahtera Mining (KSM)
PT KSM memiliki IUP dari SK Bupati Raja Ampat pada 2013, yang berlaku hingga 2033 dengan wilayah seluas 5.922 Ha. Untuk penggunaan kawasan, perusahaan tersebut memegang IPPKH berdasarkan Keputusan Menteri LHK pada 2022. Kegiatan produksi dilakukan sejak 2023, namun saat ini tidak terdapat aktivitas produksi yang berlangsung.
PT Nurham
PT ini memegang IUP berdasarkan SK Bupati Raja Ampat hingga 2033 dengan wilayah seluas 3.000 hektare di Pulau Waigeo. Perusahaan telah memiliki persetujuan lingkungan dari Pemkab Raja Ampat sejak 2013. Hingga kini perusahaan belum berproduksi.
Ringkasan
Pemerintah Indonesia mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) empat perusahaan nikel di Raja Ampat pada 10 Juni, seminggu setelah aksi “SaveRajaAmpat” yang viral oleh pemuda dan aktivis Greenpeace. Aksi ini menyoroti ancaman tambang nikel terhadap lingkungan “surga terakhir” tersebut, berhasil menarik perhatian publik luas.
Pertambangan nikel terbukti menyebabkan deforestasi signifikan, pencemaran lingkungan laut dan darat, serta memicu konflik sosial di komunitas lokal. Salah satu aktivis, Paulina, sempat ditangkap namun bertekad untuk terus memperjuangkan Raja Ampat dari kerusakan. Pencabutan izin dilakukan karena pelanggaran lingkungan dan pentingnya perlindungan kawasan UNESCO Global Geopark yang kaya keanekaragaman hayati tersebut.