Rencana pemerintah untuk memajaki aktivitas jual beli di marketplace memicu perdebatan sengit. Pelaku usaha e-commerce khawatir kebijakan ini akan menambah beban ekonomi mereka.
Namun, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, menegaskan bahwa kebijakan ini bukan pajak baru.
Lantas, bagaimana sebenarnya aturan ini akan bekerja?
Pemerintah Ubah Mekanisme Pemungutan Pajak
Secara garis besar, pemerintah ingin mengatur pergeseran mekanisme pembayaran pajak. Marketplace akan ditunjuk untuk memungut Pajak Penghasilan (PPh) 22 dari pedagang e-commerce.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu, Rosmauli, menjelaskan bahwa kebijakan ini tidak mengubah prinsip dasar PPh, melainkan memberikan kemudahan bagi pedagang dalam memenuhi kewajiban perpajakan.
Pembayaran pajak akan dilakukan secara otomatis melalui sistem yang terintegrasi dengan platform tempat mereka berjualan. Jadi, mekanisme pembayaran PPh pedagang daring yang sebelumnya dilakukan mandiri, akan diubah menjadi otomatis oleh marketplace yang ditunjuk.
Siapa yang Terdampak?
Pemerintah menekankan bahwa aturan ini tidak menyasar Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dengan pendapatan di bawah Rp500 juta per tahun, melainkan yang pendapatannya di atas itu.
Inisiatif ini bertujuan untuk memberikan kemudahan administrasi, meningkatkan kepatuhan, dan memastikan perlakuan pajak yang berkeadilan tanpa menambah beban atau menciptakan jenis pajak baru.
Selain itu, pemerintah juga ingin memperkuat pengawasan dan menutup celah aktivitas ekonomi tersembunyi (shadow economy), khususnya dari lingkup pedagang daring.
Dengan melibatkan marketplace sebagai pihak pemungut, diharapkan pemungutan PPh Pasal 22 ini dapat mendorong kepatuhan yang proporsional dan memastikan kontribusi perpajakan mencerminkan kapasitas usaha secara nyata.
Awal Mula Wacana Pemajakan E-commerce
Kabar pemajakan sektor e-commerce pertama kali muncul dari pemberitaan kantor berita Reuters.
Reuters melaporkan bahwa pemerintah Indonesia berencana menerapkan “pemotongan pajak atas pendapatan penjualan” secara daring oleh marketplace untuk meningkatkan pemasukan negara.
Informasi tersebut diperoleh dari “dua sumber di industri e-commerce” yang diwawancarai secara anonim dan “sebuah dokumen” yang sudah dilihat.
Salah satu narasumber Reuters menyatakan bahwa aturan baru ini akan “diumumkan secepatnya bulan depan.”
Penolakan dari Platform E-commerce
Berbagai platform e-commerce seperti TikTok Shop, Tokopedia, Shopee, hingga Lazada menentang wacana kebijakan itu. Mereka berdalih bahwa kebijakan ini akan “menaikkan biaya administrasi serta menjauhkan penjual dari pasar online.”
Narasumber Reuters menyebutkan bahwa platform e-commerce akan diwajibkan memotong dan menyetorkan pajak kepada pemerintah sebesar 0,5% dari pendapatan penjualan pelaku usaha dengan omzet tahunan antara Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar.
Persoalannya, mereka yang masuk kategori tersebut dianggap sebagai pelaku usaha skala kecil dan menengah yang memang sudah diwajibkan membayar pajak dengan ketentuan PPh 22 sebesar 0,5%.
Narasumber Reuters juga menambahkan bahwa ada usulan penerapan denda bagi platform e-commerce yang terlambat melaporkan setoran pajak yang mereka kumpulkan.
Aturan Perpajakan E-commerce yang Sudah Ada
Pemerintah Indonesia sebenarnya sudah mengatur urusan perpajakan bagi mereka yang terlibat aktivitas jual beli secara daring. Mekanismenya disebut sebagai Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).
Pendekatan ini digunakan agar tidak ada perlakuan berbeda antara perdagangan secara langsung (offline) dengan online.
Aturan yang ada menetapkan empat model transaksi yang masuk pemantauan kewajiban pajak di ranah e-commerce:
* Online marketplace
* Classified ads
* Daily deals
* Online retail
Online retail, yang merupakan kegiatan menjual barang dan/jasa kepada pembeli di situs online, adalah model yang paling akrab dengan masyarakat.
Penetapan objek pajak didasarkan pada tiga elemen:
* Keuntungan dari penjualan barang
* Rent fee atau registration fee terhadap jasa penyediaan tempat, waktu, serta iklan yang diterima marketplace
* Komisi atas jasa perantara pembayaran penjualan barang dan/atau jasa yang didapatkan penyedia online marketplace, di samping biaya transaksi yang diberikan pemasang iklan ke penyelenggara classified ads
Dalam konteks online retail, pajak yang berlaku adalah PPh 22, yang ditujukan kepada pembayaran sehubungan dengan pembelian barang.
Sejarah Pemajakan E-commerce di Indonesia
Strategi pemajakan di ruang e-commerce pernah terjadi pada akhir 2018 ketika pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik.
Saat itu, pemerintah menyatakan bahwa aturan tersebut berfokus pada tata cara dan prosedur pemajakan, alih-alih pembentukan pajak baru. Mekanisme ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan administrasi serta mendorong kepatuhan perpajakan para pelaku e-commerce, demi menciptakan perlakuan yang setara dengan pelaku usaha konvensional.
Beberapa ketentuan yang ditulis dalam beleid ini antara lain:
* Pajak final diberlakukan dengan tarif 0,5% untuk pendapatan tidak melebihi Rp4,8 miliar per tahun.
* Penyedia platform marketplace wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) serta PPh kepada pedagang dan penyedia jasa.
Namun, aturan tersebut dibatalkan pada Maret 2019 setelah menuai gelombang protes. Pemerintah beralasan pembatalan dilakukan karena adanya kesimpangsiuran dan perlunya sosialisasi lebih lanjut agar masyarakat memahami sepenuhnya kebijakan tersebut.
Wacana Pajak E-commerce Kembali Mencuat
Tiga tahun berselang, pada 2022, wacana pungutan pajak oleh platform e-commerce kembali digaungkan. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu mengaku tengah menggodok kajiannya.
Kasubdit Peraturan PPN Perdagangan, Jasa dan Pajak Tidak Langsung Lainnya Direktorat Jenderal Pajak, Bonarsius Sipayung, mengatakan bahwa pemerintah mempertimbangkan berbagai hal, termasuk situasi ekonomi pascapandemi, kesiapan infrastruktur, besaran tarif, hingga kemudahan administrasi.
Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kemenkeu, Febrio Kacaribu, menegaskan bahwa wacana kebijakan pajak e-commerce “bukan pajak baru,” melainkan pajak yang sudah ada.
Menurutnya, kebijakan serupa sudah banyak diterapkan di berbagai platform seperti Google atau Netflix. Pemerintah ingin menjalin kemitraan dengan e-commerce sebagai pemungut pajak untuk memperbaiki administrasi dan meningkatkan kepatuhan pelaku usaha dalam membayar pajak.
Tahap Finalisasi dan Partisipasi Publik
Sejauh ini, aturan baru mengenai pajak e-commerce masih dalam tahap finalisasi. Pejabat Kementerian Keuangan mengklaim bahwa proses penyusunan sudah melalui partisipasi bermakna (meaningful participation) dengan pemangku kepentingan, baik pelaku di industri maupun kementerian dan lembaga terkait.
Pemerintah menyatakan bahwa langkah pembentukan aturan pemajakan ini disambut positif, dengan harapan terciptanya pengelolaan pajak yang adil serta efisien.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu, Rosmauli, menyampaikan bahwa pemerintah memahami pentingnya kejelasan bagi para pelaku usaha dan masyarakat. Oleh karena itu, apabila aturan ini telah resmi ditetapkan, pemerintah akan menyampaikan secara terbuka, lengkap, dan transparan kepada publik.
Suara dari Pedagang Online
Munziyah, seorang pedagang kosmetik online selama dua tahun, mengungkapkan bahwa keputusan untuk berjualan online didorong oleh tuntutan zaman.
Ia mengakui bahwa berjualan online tidak selalu berjalan mulus. Pendapatannya tidak tentu dan persaingan di marketplace cukup ketat. Namun, ia berencana meningkatkan kemampuan digitalnya, termasuk kemungkinan mengurus pemasangan iklan via marketplace.
Terkait rencana pemajakan oleh marketplace, Munziyah tidak terlalu khawatir dan yakin bahwa pemerintah akan “berpikir yang baik untuk warganya.” Ia menyatakan kesediaannya sebagai warga negara yang taat untuk mengikuti aturan tersebut, dengan harapan rezekinya akan dicukupkan oleh Tuhan.
Munziyah juga menganggap e-commerce telah menawarkan kemudahan baginya untuk mencari uang tanpa perlu repot memikirkan modal tambahan untuk membangun toko fisik.
Taufik Riyadi, pedagang alat-alat pertanian online berusia 50 tahun, meminta pemerintah untuk merumuskan kebijakan pajak dengan hati-hati, terutama mempertimbangkan nasib pelaku usaha.
Ia berpesan agar kebijakan pajak yang diambil tidak membuat penjual kesulitan atau menyebabkan penurunan penjualan.
Taufik memulai usaha online-nya pada 2015 dan mengakui bahwa berjualan online memperluas pasarnya dari Madura hingga ke seluruh Indonesia, bahkan Malaysia.
Namun, ia juga menghadapi situasi yang tidak terlalu menguntungkan karena penjualan online sedang mengalami penurunan. Ia menduga hal ini terkait dengan tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat yang menurun.
Taufik berharap pemerintah dapat membantu mengatasi lesunya penjualan yang dihadapi pelaku usaha di ranah online sebelum memutuskan kebijakan soal pajak.
Yang Perlu Diwaspadai Pemerintah
Dua analis ekonomi yang dihubungi BBC News Indonesia menilai kebijakan ini sebagai sinyal positif untuk merealisasikan pemajakan yang adil dan meningkatkan kepatuhan pajak pelaku e-commerce.
Kepala Riset Perpajakan Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, menjelaskan bahwa rencana kebijakan pemerintah hanya akan menjadikan platform digital (marketplace) sebagai pemungut pajak. Perbedaan dengan sebelumnya hanya terletak pada mekanisme pemungutannya saja.
Fajry menilai upaya pemerintah ini merespons pertumbuhan e-commerce yang tinggi dan partisipasi kepatuhan pajak yang saling berkelindan.
Menurutnya, mekanisme ini akan mendorong kepatuhan pajak bagi UMKM karena sebagian besar merchant dari e-commerce adalah pelaku UMKM.
Pemungutan pajak oleh pihak ketiga dapat menjadi solusi dalam rangka memenuhi kepatuhan pajak, mengingat rendahnya pajak yang dikumpulkan pemerintah (tax ratio) disebabkan oleh banyaknya sektor informal, yang salah satu kontributor terbesarnya adalah UMKM.
Laporan e-commerce yang disusun Google, Temasek, dan Bain & Company menunjukkan bahwa ekonomi digital Indonesia terus tumbuh setiap tahunnya dengan estimasi kenaikan Gross Merchandise Value (GMV) sebesar 13% (US$90 miliar) dibandingkan 2023.
Sektor e-commerce menjadi kontributor penting bagi ekonomi digital, tumbuh 11% pada 2024 dengan GMV US$65 miliar. Salah satu pemicunya adalah inovasi platform e-commerce besar yang menawarkan fitur-fitur baru seperti video commerce.
Data Kementerian Perdagangan menyebutkan bahwa jumlah pengguna e-commerce di Indonesia diperkirakan akan terus melonjak hingga 2029, mencapai 99,1 juta pengguna.
Dengan landasan kebijakan yang tidak membebankan pajak baru bagi UMKM, implementasinya diharapkan tidak membuat kontraksi ekonomi.
Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda, menyatakan bahwa meskipun potensi penerimaan negara kecil karena ditujukan kepada pelaku usaha dengan pendapatan di atas Rp500 juta, kebijakan ini adalah bentuk kesetaraan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa sebagian besar pelaku usaha di e-commerce mempunyai pendapatan kurang dari Rp300 juta.
Huda menilai bahwa kebijakan ini sebaiknya mengikat pengusaha, baik yang berjualan daring maupun luring, sehingga menciptakan level of playing field yang sama dan tidak ada pengkhususan bagi penjual daring.
Penerapan kebijakan ini diperkirakan akan menghadapi tantangan di lapangan, seperti yang dilaporkan oleh lembaga konsultan pajak, DDTC, pada 2022.
Laporan DDTC memberikan gambaran bahwa lebih dari 40% pelaku UMKM tidak setuju jika marketplace menjadi pemotong dan pemungut pajak. Mereka lebih memilih membayar pajaknya sendiri ke otoritas terkait.
Keterlibatan platform dalam menarik pajak berpeluang menurunkan partisipasi UMKM berjualan secara daring lewat e-commerce hingga 26 persen, yang berpotensi pindah ke media sosial atau kembali ke toko fisik.
DDTC memandang bahwa pemerintah atau otoritas pajak perlu secara terbuka melakukan sosialisasi mengenai kebijakan pemajakan tersebut.
Huda menekankan pentingnya integrasi data demi menghindari “pelapak yang sudah taat pajak tapi dipotong pajak lagi.” Ia juga menambahkan bahwa e-commerce sebagai pemungut nantinya harus memiliki data yang pasti untuk penjual yang mempunyai omzet di atas Rp500 juta dan memastikan apakah mereka sudah taat pajak atau belum.
Selain itu, Huda juga menekankan pentingnya sinkronisasi data dari satu platform dengan platform lainnya, mengingat kemungkinan adanya penjual yang memiliki dua hingga tiga toko di platform yang berbeda. Sinkronisasi data antarplatform ini harus diatur secara rinci, misalnya dengan menggunakan NIB (Nomor Induk Berusaha) atau NIK (Nomor Induk Kependudukan) agar tidak terjadi loophole dan kesenjangan lagi bagi penjual daring maupun luring.
Ringkasan
Pemerintah berencana mengubah mekanisme pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) 22 dari aktivitas jual beli di *marketplace*, menegaskan bahwa ini bukan pajak baru melainkan pergeseran tanggung jawab pemungutan. *Marketplace* akan ditunjuk memungut PPh 22 secara otomatis dari pedagang. Aturan ini menargetkan pedagang daring dengan pendapatan di atas Rp500 juta per tahun, bukan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di bawah ambang batas tersebut. Tujuannya adalah mempermudah administrasi, meningkatkan kepatuhan, dan memperkuat pengawasan ekonomi digital.
Kebijakan ini memicu kekhawatiran dari platform *e-commerce* dan pernah menuai penolakan serupa pada 2018. Meskipun demikian, analis melihatnya sebagai langkah positif untuk mewujudkan pemajakan yang adil dan meningkatkan kepatuhan, terutama bagi UMKM. Tantangan utamanya terletak pada kebutuhan sosialisasi yang masif dan integrasi data yang akurat antarplatform untuk menghindari duplikasi pajak dan memastikan keadilan. Pemerintah menyatakan aturan ini masih dalam tahap finalisasi dan akan disosialisasikan secara transparan kepada publik.