Setidaknya 1.376 anak sekolah di berbagai daerah diduga menjadi korban keracunan program Makan Bergizi Gratis (MBG). Kondisi ini mendorong seorang pakar gizi masyarakat untuk menyarankan penghentian sementara program tersebut, demi memberikan ruang bagi evaluasi menyeluruh terhadap insiden keracunan yang terus berulang.
Hasil investigasi dinas kesehatan di Bandung, Bogor, dan Tasikmalaya, Jawa Barat, serta Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir di Sumatra Selatan, mengungkap adanya kontaminasi bakteri berbahaya. Bakteri yang ditemukan meliputi Salmonella, E.coli, Bacilius cereus, Stapylococcus aereus, Bacillus subtilis, hingga jamur Candida tropicalis.
Kisah trauma menyelimuti para orang tua yang ditemui BBC News Indonesia. Mereka kini melarang anak-anaknya menyantap makanan dari program pemerintah tersebut. “Saya pikir kalau dapat makan gratis bisa meringankan [beban], tapi ini bukannya meringankan malah [mau] membunuh. Tidak usah lagi makan gratis, daripada keracunan,” tutur Fitri Febrianti, salah satu orang tua di Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir, Sumatra Selatan.
“Kalau ada MBG jangan dikasih dulu, anak saya takut. Saya juga melarang, soalnya jadi trauma. Kasihan kalau anak keracunan,” imbuh Irma Nurliana, orang tua di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, dengan nada cemas. Hingga artikel ini diterbitkan, Badan Gizi Nasional (BGN) belum memberikan tanggapan atas pertanyaan yang diajukan BBC News Indonesia sejak Senin (09/06).
Sebelumnya, Kepala BGN, Dadan Hindayana, menyatakan bahwa pemerintah akan bertanggung jawab membiayai pengobatan siswa korban keracunan MBG, termasuk memberikan kompensasi, meskipun tidak untuk semua korban.
Ada bakteri Bacillus subtilis pada menu MBG di Tasikmalaya
Kecemasan melanda Irma Nurliana saat anaknya, Syaina, mengalami buang air besar terus-menerus dari tengah malam hingga subuh. “Anak saya buang air besar terus-terusan dari tengah malam sampai subuh, saya kira sakit perut biasa,” tutur Irma. Namun, saat pagi tiba pada Jumat (02/05), ia membuka grup WhatsApp sekolah dan menyadari bahwa hampir semua anak yang mengonsumsi MBG mengalami gejala serupa: buang air dan mual.
Irma pun segera memberikan pertolongan pertama dengan air kelapa muda. Namun, melihat putrinya yang duduk di kelas 2 sekolah dasar itu terus mual, ia memutuskan memboyong Syaina ke puskesmas terdekat. “Kata dokter puskesmas, ada keracunan [akibat] bakteri. Mual-mual itu karena masih ada sisa bakteri ternyata,” jelas Irma.
Sehari sebelumnya, anak-anak SDN Rajapolah di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, melahap menu MBG berupa ayam teriyaki, sayur waluh, tahu goreng, jagung, dan buah anggur. Irma tak pernah menyangka makanan gratis dari pemerintah itu akan bermasalah. Anaknya juga menceritakan bahwa beberapa menu MBG terkadang terasa hambar, tetapi selalu dihabiskan karena instruksi guru.
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Tasikmalaya mencatat, setidaknya 400 pelajar dari tingkat TK, SD, Madrasah Ibtidaiyah, hingga SMP, mengalami keracunan setelah mengonsumsi menu MBG ini. Rata-rata dari mereka mengeluh sakit perut, mual, muntah, dan diare.
Investigasi segera dilakukan oleh Dinas Kesehatan setempat. Hasil pemeriksaan di UPTD Laboratorium Jawa Barat menunjukkan adanya kandungan bakteri Bacillus subtilis pada lauk ayam teriyaki. Namun, Kepala Bidang Pengawasan Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan Tempat Usaha di Dinas Kesehatan Kabupaten Tasikmalaya, Epi Edwar Lutpi, tidak menjelaskan secara spesifik mengapa bakteri tersebut bisa muncul.
Epi berdalih bahwa pihaknya tidak berada di dapur saat proses penyajian. Ia memperkirakan, “Kemungkinan ada ketidakcermatan di distribusi dan waktu penyajian.” Ia pun merekomendasikan agar proses memasak, distribusi, dan penyajian dilakukan secara bergelombang, tidak dalam waktu bersamaan, untuk mengurangi risiko. Pasca-insiden keracunan, operasional Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) langsung dihentikan selama seminggu untuk evaluasi.
Ada bakteri Coliform dan E.coli pada menu MBG di Sumsel
Lima hari setelah insiden di Tasikmalaya, keracunan MBG kembali terjadi di Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI), Sumatra Selatan. Fitri Febrianti menceritakan kronologi keracunan yang menimpa putrinya, Nayla. “‘Ibu, aku mual, pusing, sakit kepala’,” ujar Fitri menirukan keluhan sang putri.
Fitri awalnya mengira Nayla sakit biasa, hingga kakek Nayla menelepon dan menanyakan kondisi cucunya. Saat itu, Fitri baru sadar bahwa sang kakek telah mengantar banyak anak ke rumah sakit, mengindikasikan adanya keracunan massal. Begitu tiba di RS Bhayangkara Talang Ubi, Fitri menyaksikan puluhan anak sekolah terkapar dengan gejala serupa putrinya.
Nayla, murid kelas 5 SD, harus menerima dua botol infus dan dipasangi selang oksigen karena mengalami sesak napas. Dokter mendiagnosis Nayla “positif keracunan.” Saat ditanya dokter mengenai makanan terakhir yang dikonsumsi, Fitri menjelaskan bahwa Nayla hanya makan MBG. Beruntung, Nayla tidak perlu dirawat inap dan diperbolehkan pulang sekitar pukul 23:00 WIB, namun harus beristirahat total selama dua hari dan menghabiskan dua macam obat resep dokter.
Menurut Fitri, menu MBG yang disantap anaknya pada Senin itu terdiri dari ikan tongkol suwir, tempe goreng, dan buah. Namun, Nayla mengaku ikan tongkol suwirnya “berlendir dan berbau.”
Dinas Kesehatan Provinsi Sumatra Selatan melaporkan total 173 anak dari tingkat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) mengalami keracunan MBG. Gejala yang dialami mirip: mual, muntah, pusing, dan lemas. Dari jumlah tersebut, sembilan di antaranya harus dirawat inap.
Dinkes telah melakukan investigasi dan inspeksi mendadak ke dapur MBG di Jalan Merdeka, Kelurahan Handayani Mulya, Kecamatan Talang Ubi, pada Selasa (06/05). Hasil laboratorium sampel makanan MBG menunjukkan kontaminasi bakteri Stapylococcus aereus pada tempe goreng, yang melebihi nilai baku mutu. Tidak hanya itu, air bersih dari sumur bor dan PAM yang digunakan untuk mengolah makanan MBG juga mengandung bakteri Coliform dan Escherichia coli (E.coli) yang melebihi nilai baku mutu.
Menurut Dinkes, salah satu kemungkinan penyebabnya adalah cara penyimpanan bahan baku yang tidak maksimal. Mesin pendingin atau freezer yang digunakan oleh SPPG kurang dingin dan tidak dilengkapi alat pemantau suhu. “Tempat penyimpanan bahan makanannya juga seharusnya memakai rak dan harus menggunakan metode First In First Out (FIFO),” papar Deddy Irawan, Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat di Dinkes Provinsi Sumsel.
Dalam konteks dapur, metode FIFO berarti makanan yang pertama kali disimpan harus menjadi yang pertama digunakan. Tujuannya adalah mengurangi risiko kedaluwarsa atau makanan basi. Sesuai perintah bupati, operasional MBG di PALI sempat dihentikan sementara hingga ada perbaikan.
Ada bakteri Bacilius cereus dan jamur Candida tropicalis dalam menu MBG di Bandung
Insiden keracunan MBG juga terjadi di Kota Bandung, Jawa Barat. Pada Rabu (30/04), Risti, siswi SMP Negeri 35, meringkuk kesakitan setelah menyantap MBG sehari sebelumnya. Menu yang disantapnya berupa mix vegetables, kakap crispy, dan buah melon potong. Menurut Risti, semua makanan tersebut tidak terasa basi atau berbau tidak sedap saat dikonsumsi.
Namun, keesokan harinya, Risti mengalami mual, diare, dan sakit perut yang berlangsung hingga “dua sampai tiga minggu masih terasa.” Ayah Risti, Rinto, segera membawa anaknya ke puskesmas terdekat. Dokter mendiagnosis Risti keracunan makanan. “Ditanya [dokter] makan apa terakhir?” ucap Rinto. “Dia [Risti] cerita habis makan makaroni [yang ada dalam sayuran MBG]. Udahlah dari situ penyebabnya,” jelas Rinto.
Dinas Kesehatan Kota Bandung mencatat sebanyak 585 siswa SMP Negeri 35 mengalami muntah, mual, diare, sakit perut, bahkan demam, usai melahap menu MBG pada Selasa (29/04). Dinas langsung menginvestigasi dengan melacak korban, inspeksi ke dapur MBG, dan uji sampel makanan. Hasilnya, ditemukan dua jenis kontaminasi: bakteri Bacilius cereus dan jamur Candida tropicalis pada sayuran dan buah melon.
Anhar Hadian, yang kala itu menjabat Kepala Dinas Kesehatan Kota Bandung, mengakui pihaknya tidak dapat memastikan pada tahapan mana kontaminasi kuman patogen itu terjadi, apakah sejak bahan makanan masuk hingga disajikan. Namun, inspeksi kesehatan lingkungan di dapur MBG menemukan beberapa fasilitas yang berpotensi menimbulkan kontaminasi makanan. Anhar mencontohkan proses penyimpanan wadah makanan (ompreng) yang terbuka dan tidak tertata rapi, serta cara mengeringkan ompreng dengan lap kotor yang dipakai berulang-ulang.
Singkatnya, dapur MBG tersebut “tidak memenuhi standar higienitas dan sanitasi” alias jorok. Akibatnya, operasional dapur dihentikan selama dua minggu hingga syarat yang direkomendasikan dipenuhi. Dinkes, menurut Anhar, tidak mengetahui seluk-beluk yayasan yang ditunjuk Badan Gizi Nasional sebagai pengelola SPPG.
Sebagai tindakan pencegahan agar insiden tidak terulang, dinkes telah memberikan pelatihan higienitas dan sanitasi kepada pekerja dapur MBG. Dari puluhan SPPG di Kota Bandung, baru 11 yang telah dilatih. Dinkes juga berencana menguji sampel makanan MBG minimal satu kali per bulan dan meminta pihak SPPG untuk memperhatikan arsip makanan—satu set makanan yang disimpan di freezer paling lama 2×24 jam setiap kali memasak.
SPPG bungkam, bagaimana cara kerja mereka?
BBC News Indonesia telah berupaya menghubungi seluruh SPPG yang makanannya diklaim mengandung bakteri dan menyebabkan keracunan, namun tidak ada satupun yang memberikan tanggapan. Untuk mendapatkan gambaran, salah satu SPPG di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, yakni Yayasan Yasika Centre Indonesia (yang bukan bagian dari SPPG yang diduga menyebabkan keracunan), membeberkan cara kerja mereka di dapur.
Aditia, ketua yayasan ini, menjelaskan bahwa mereka mulai menyediakan MBG pada 6 Januari 2025, serentak di 26 provinsi. Dalam sehari, Yasika Centre harus menyiapkan 3.300 porsi makanan untuk pelajar di lima sekolah di wilayah Kecamatan Manggala, Makassar. Sebanyak 47 pekerja terlibat di dapur mereka, terdiri dari Kepala Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia (SPPI) yang memimpin dan mengoordinasikan penyelenggaraan MBG, ahli gizi, tenaga relawan memasak, mencuci, mengemas, pengemudi, hingga sekuriti.
Untuk menyediakan ribuan porsi makanan tersebut, yayasan membagi jam kerja karyawan menjadi beberapa shift. “Memasak dari jam 12 malam sampai 3 subuh. Kemudian pukul 3 subuh sampai 7 pagi pengemasan. Pendistribusian mulai dari jam 7 pagi hingga pukul 9 pagi,” jelas Aditia. Demi menjaga higienitas, Aditia mengklaim menerapkan sistem Hazard Analysis Critical Control Points (HACPP), meskipun tidak menjelaskan secara detail bagaimana sistem ini dijalankan.
Aditia mengaku mendapatkan bahan baku dari pemasok yang bermitra dengan Badan Gizi Nasional (BGN). Selain itu, mereka juga membuka kesempatan bagi warga sekitar yang ingin menjual bahan baku, namun karena stok terbatas, yayasan menyiasatinya dengan membeli dari beberapa pedagang lain. “Kalau telur beli dari warga. Tapi kami komitmen, harga rata-rata, tidak boleh lebih mahal atau lebih murah,” ujarnya.
Dalam sehari, anggaran yang dikeluarkan untuk menyediakan 3.300 porsi makanan adalah Rp30 juta. Dalam kontrak kerja, harga satu porsi makanan tertera Rp15.000. Namun, Aditia menjelaskan bahwa angka tersebut harus dibagi untuk keperluan operasional dan keuntungan bagi SPPG. Pembagiannya, untuk satu porsi makanan berkisar antara Rp8.000–Rp10.000, ongkos operasional sebesar Rp3.000, dan sisanya Rp2.000 masuk ke kantong yayasan.
Aditia bercerita, sebelum menjadi mitra BGN, modal yang harus dikeluarkan untuk membangun dapur dan membeli perlengkapan masak mencapai Rp2 miliar. Rinciannya, Rp1,3 miliar untuk peralatan dapur dan makan, serta sisanya untuk menyewa tempat dan membeli bahan baku. Aditia menjelaskan bahwa dapurnya harus lolos standar BGN, seperti luas dapur 20×20 meter persegi yang dilengkapi peralatan memasak untuk 3.500 porsi, dan lokasi dapur mesti dekat dengan sekolah yang disasar (kurang lebih 6 kilometer atau 30 menit dari titik dapur).
Ia mengaku butuh waktu satu bulan menuntaskan syarat-syarat itu. “Kemarin itu bukan hal yang mudah, ibaratnya saya berjudi apakah diterima atau tidak. Karena saya harus membangun [dapur] dulu pakai dana pribadi, baru pengajuan kontrak,” kata Aditia. Setelah itu, keluar Perjanjian Kerja Sama, dan yayasannya dikontrak selama setahun. Aditia, yang berpengalaman di dunia jasa boga, mengaku hanya pernah mengalami satu masalah besar selama menjalankan MBG: keterlambatan pembayaran hingga hampir satu bulan, yang diperkirakan mencapai Rp750 juta, karena sistem pembayaran BGN yang menggunakan reimbursement. Anggaran dari BGN itu juga diperuntukkan untuk membayar upah para pekerja sebesar Rp100.000 per hari.
Rentetan kasus dugaan keracunan MBG, 1.300 anak jadi korban
Sejak proyek Makan Bergizi Gratis Presiden Prabowo diuji coba hingga diluncurkan di berbagai daerah, tercatat sudah ada 13 kasus dugaan keracunan. Kasus pertama terjadi saat uji coba MBG di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur pada awal Oktober 2024, di mana tujuh anak SD mengalami mual, sakit perut, dan muntah hingga dilarikan ke puskesmas.
Setelah diresmikan pada 6 Januari lalu, insiden dugaan keracunan terjadi secara beruntun dengan jeda hanya beberapa hari. Rinciannya meliputi: Kabupaten Sukoharjo, Jateng (40 kasus); Kabupaten Nunukan, Kaltara (30 kasus); Kabupaten Empat Lawang, Sumsel (8 kasus); Kabupaten Pandeglang, Banten (40 kasus); Waingapu, NTT (29 kasus); Kabupaten Batang, Jateng (60 kasus); Kabupaten Cianjur, Jabar (165 kasus); Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara (13 kasus); Kabupaten Karanganyar, Jateng (3 kasus); Kota Bandung, Jabar (585 kasus); PALI, Sumsel (173 kasus); dan Kota Bogor (223 kasus).
Secara keseluruhan, total 1.376 siswa mengalami dugaan keracunan akibat program MBG ini. Dokter dan ahli gizi masyarakat, Tan Shot Yen, dengan tegas menyatakan bahwa angka seribu lebih korban ini tidak dapat ditolerir. “Korban satu saja, itu tidak dibenarkan, apalagi seribu… ini bukan cuma alarm, tapi ini waktunya untuk Anda [Presiden Prabowo] untuk menghentikan,” katanya geram.
Dari mana bakteri dan jamur itu bisa muncul?
Dalam wawancara dengan BBC News Indonesia, dokter Tan menjelaskan bahwa bakteri maupun jamur yang mengkontaminasi makanan gratis pemerintah ini sangat berbahaya, bukan hanya untuk anak-anak, tetapi untuk semua usia. “Karena bakteri dan jamur itu suatu mikroorganisme yang tidak layak berada di dalam makanan,” terangnya.
Lantas, dari mana munculnya kontaminasi tersebut? Dokter Tan membeberkan beberapa kemungkinan:
- Cara memasak yang salah: Makanan yang tidak matang sempurna, seperti yang terjadi di Waingapu, NTT, memungkinkan bakteri berkembang biak.
- Kesehatan dan kebersihan pekerja dapur: Mirip dengan peristiwa pada abad ke-18 hingga 19 ketika penyakit tipes menyebar di Amerika yang dicurigai dibawa oleh seorang juru masak, Mary Mallon, yang belakangan diketahui sebagai healthy carrier. “Kita enggak pernah tahu bagaimana kesehatan orang yang bekerja di dapur, padahal itu penting banget,” jelas dokter Tan. Ditambah kebiasaan masyarakat Indonesia yang masih enggan menggunakan penutup kepala dan hidung, serta sarung tangan, risiko kontaminasi silang menjadi tinggi.
- Bahan baku tidak segar dan berkualitas rendah: Termasuk penyimpanan yang tidak tepat. Daging ayam dan ikan harus disimpan dalam lemari pendingin dengan suhu konstan, dan ketersediaan listrik yang stabil sangat penting. Begitu pula dengan sayur-mayur yang memerlukan penyimpanan yang benar.
- Kebersihan dapur dan peralatannya: Kebersihan dapur harus dilakukan secara berkala. Peralatan seperti pisau, panci, dan penggorengan juga harus dipastikan bersih untuk menghindari kontaminasi silang.
- Proses pengemasan hingga pengantaran: Suhu makanan harus dijaga di atas 60 derajat Celsius. Suhu antara 5 derajat hingga 60 derajat disebut sebagai “zona bahaya” atau “zona pertumbuhan bakteri,” di mana kuman dan jamur dapat tumbuh dan berkembang biak. “Jadi kalau di acara pernikahan misalnya, makanannya kan biasa ada alat pemanas ya, itu tujuannya bukan supaya kalau dimakan jadi enak dan hangat,” imbuhnya, “Tapi demi mempertahankan agar makanan tersebut harus di atas 60 derajat.”
- Cara mengonsumsi: Penggunaan peralatan yang bersih dan kebiasaan mencuci tangan sebelum makan juga krusial untuk mencegah keracunan.
Bagaimana idealnya MBG dilaksanakan?
Melihat berbagai risiko yang ada, dokter Tan sejak awal menyarankan agar pemerintah menggandeng pengelola kantin sekolah untuk menyediakan MBG. Lokasi kantin yang dekat dengan sekolah dinilai sangat strategis, dan pemerintah hanya perlu mendidik para pengelola kantin untuk memasak sesuai aturan. Penyajian makanan pun bisa dilakukan secara prasmanan, sekaligus melatih anak sekolah untuk berperilaku tertib. “Itu yang paling ideal sebetulnya,” katanya.
Ia menambahkan, “Kalau selama ini kantin hanya jualan pentol, seblak, ajari dong mereka bikin bakso ikan.” Dokter Tan juga menyarankan agar menu disesuaikan dengan preferensi anak-anak, menghindari nama-nama asing seperti chicken katsu atau ayam teriyaki. Selain itu, penting untuk melibatkan orang tua siswa, dinas kesehatan, dinas pendidikan, dan puskesmas untuk menampung masukan mengenai menu dan memantau jalannya program jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti keracunan.
Yang tak kalah penting menurut dokter Tan adalah ketepatan sasaran program. Ia berpendapat bahwa tidak semua anak-anak harus mendapatkan makanan gratis bergizi ala pemerintah. Prioritas MBG seharusnya ditujukan kepada anak-anak di daerah 3T: terdepan, terluar, dan tertinggal. Mereka dinilai lebih membutuhkan asupan bergizi ketimbang anak-anak perkotaan yang bersekolah di fasilitas mewah. “Jangan sampai uangnya sudah dihamburkan sekian triliun, hanya dihabiskan untuk orang-orang di perkotaan, yang sebetulnya kurang urgen,” tegasnya.
Apakah MBG masih layak dipertahankan?
Dengan lebih dari seribu kasus keracunan MBG yang telah terjadi, pakar gizi masyarakat ini kembali menegaskan rekomendasinya: pelaksanaan MBG harus dihentikan sementara waktu untuk dilakukan evaluasi menyeluruh atas rentetan kasus dugaan keracunan di berbagai daerah. Tanpa evaluasi tersebut, ia meyakini bahwa insiden keracunan dari makanan gratis ini akan terus berulang.
Dokter Tan juga menekankan bahwa capaian angka seberapa banyak anak yang sudah menerima MBG bukan satu-satunya tolok ukur keberhasilan mega proyek tersebut. Melainkan, bagaimana respons anak-anak menyambut makan gratis ini, serta dampak terhadap kesehatan mereka. “Kayaknya kita harus malu kalau memberikan anak-anak makanan yang justru merugikan kesehatan mereka,” ucap dokter Tan. “Jadi buat saya, cepat itu bagus, tapi lebih baik, caranya benar terlebih dahulu. Jangan sampai MBG ini ditolak.”
Presiden Prabowo sebut keberhasilan MBG 99%
Badan Gizi Nasional (BGN) sebelumnya mengklaim bahwa hingga April 2025, setidaknya 3,3 juta anak sekolah di Indonesia telah tersentuh proyek MBG, dengan target mencapai 6 juta penerima pada Agustus nanti. Presiden Prabowo Subianto bahkan menyebut keberhasilan program prioritasnya ini mencapai 99,99% meskipun terdapat kasus keracunan di berbagai daerah.
Prabowo berdalih bahwa korban keracunan akibat MBG hanya sekitar 200 orang, angka yang jauh lebih kecil dibandingkan jumlah penerima makan gratis. “Hari ini memang ada yang keracunan, yang keracunan sampai hari ini dari tiga sekian juta, kalau tidak salah di bawah 200 orang [keracunan], yang rawat inap hanya lima orang,” kata Prabowo dalam Sidang Kabinet Paripurna di Istana Kepresidenan, awal Mei lalu. “Jadi bisa dikatakan yang keracunan atau yang perutnya enggak enak sejumlah 200 orang dari tiga juta, kalau tidak salah 0,005%. Berarti keberhasilannya adalah 99,99%.” Sampai berita ini diterbitkan, Badan Gizi Nasional (BGN) belum menanggapi pertanyaan yang BBC News Indonesia kirimkan sejak Senin (09/06).
‘Saya pikir MBG bisa meringankan, tapi mau membunuh’
Kembali ke cerita para orang tua yang anaknya menjadi korban keracunan makan gratis. Irma Nurliana, ibu dari Syaina (siswa kelas 2 SDN Rajapolah di Tasikmalaya), mengaku sangat khawatir dan trauma jika putrinya mengonsumsi MBG di sekolah. “Saya berpesan ke guru, kalau ada MBG, jangan dulu dikasih, anak saya masih takut, kasihan anak saya keracunan,” ujarnya.
Fitri Febrianti, ibu dari Nayla (siswa kelas 5 SDN 20 Suryabumi Angrolangge di PALI), juga menyatakan kecemasannya terhadap program pemerintah ini. Ia bahkan memperingatkan sang anak agar tidak lagi makan MBG jika dibagikan sekolah. Jika pun mendapatkan paket makanan MBG, Fitri berpesan agar dibawa pulang saja untuk dicicipi terlebih dahulu olehnya, karena ia takut anaknya akan keracunan lagi. “Saya pikir kalau dapat makan gratis bisa meringankan [beban], tapi ini bukannya meringankan malah [mau] membunuh. Tidak usah lagi makan gratis, daripada keracunan,” tegasnya.
Serupa dengan mereka, Rinto juga melarang anaknya, Risti (pelajar di SMP Negeri 35 Kota Bandung), mengonsumsi MBG lantaran kapok melihat sang putri meringkuk kesakitan. “Enggak boleh [makan MBG] sekarang, takut [kejadian lagi]. Sekarang dia bawa bekal makanan sendiri,” pungkas Rinto, mencerminkan kekhawatiran yang sama di kalangan orang tua.
Ringkasan
Setidaknya 1.376 anak sekolah di berbagai daerah diduga menjadi korban keracunan program Makan Bergizi Gratis (MBG), mendorong pakar gizi menyarankan penghentian sementara untuk evaluasi. Investigasi dinas kesehatan di Bandung, Bogor, Tasikmalaya, dan Penukal Abab Lematang Ilir mengungkap kontaminasi beragam bakteri seperti Salmonella, E.coli, Bacillus cereus, Staphylococcus aereus, Bacillus subtilis, serta jamur Candida tropicalis. Insiden ini menimbulkan trauma mendalam bagi orang tua yang kini melarang anaknya mengonsumsi makanan dari program tersebut.
Kontaminasi disebabkan oleh berbagai faktor termasuk proses memasak yang tidak matang, kebersihan pekerja dapur yang kurang, bahan baku tidak segar, penyimpanan tidak tepat, serta sanitasi dapur dan peralatan yang buruk. Seorang pakar gizi menyarankan agar program dihentikan sementara untuk evaluasi menyeluruh dan pelaksanaannya dapat melibatkan kantin sekolah lokal serta memprioritaskan daerah 3T. Meskipun demikian, Presiden Prabowo mengklaim program ini 99,99% berhasil, dengan menyebut hanya sekitar 200 korban keracunan dari jutaan penerima.